Berlalulah beberapa tahun dari kematian
Nabi Adam. Bunga-bunga berguguran di sekitar kuburannya dan pohon-pohon
dan batu-batuan tampak tidak bergairah. Banyak hal berubah di muka bumi.
Dan sesuai dengan hukum umum, terjadilah kealpaan terhadap wasiat Nabi
Adam. Kesalahan yang dahulu kembali terulang. Kesalahan dalam bentuk
kelupaan, meskipun kali ini terulang secara berbeda.
Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh, telah
hidup lima orang saleh dari kakek-kakek kaum Nabi Nuh. Mereka hidup
selama beberapa zaman kemudian mereka mati. Nama-nama mereka adalah
Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Setelah kematian mereka,
orang-orang membuat patung-patung dari mereka, dalam rangka menghormati
mereka dan sebagai peringatan terhadap mereka. Kemudian berlalulah
waktu, lalu orang-orang yang memahat patung itu mati. Lalu datanglah
anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu mati, dan datanglah cucu-cucu
mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan khurafat yang
membelenggu akal manusia di mana disebutkan bahwa patung-patung itu
memiliki kekuatan khusus.
Di sinilah iblis memanfaatkan
kesempatan, dan ia membisikkan kepada manusia bahwa berhala-berhala
tersebut adalah Tuhan yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya
sehingga akhirnya manusia menyembah berhala-berhala itu. Kami tidak
mengetahui sumber yang terpecaya berkenaan dengan bagaimana bentuk
kehidupan ketika penyembahan terhadap berhala dimulai di bumi, namun
kami mengetahui hukum umum yang tidak pernah berubah ketika manusia
mulai cenderung kepada syirik. Dalam situasi seperti itu, kejahatan akan
memenuhi bumi dan akal manusia akan kalah, serta akan meningkatnya
kelaliman dan banyaknya orang-orang yang teraniaya. Yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin. Alhasil, kehidupan manusia semuanya
akan berubah menjadi neraka Jahim. Situasi demikian ini pasti terjadi
ketika manusia menyembah selain Allah SWT, baik yang disembah itu
berhala dari batu, anak sapi dari emas, penguasa dari manusia, sistem
dari berbagai sistem, mazhab dari berbagai mazhab, atau kuburan seorang
wali. Sebab satu-satunya yang menjamin persamaan di antara manusia
adalah, saat mereka hanya menyembah Allah SWT dan saat Dia diakui
sebagai Pencipta mereka dan yang membuat undang-undang bagi mereka.
Tetapi saat jaminan ini hilang lalu ada seorang yang mengklaim, atau ada
sistem yang mengklaim memiliki wewenang ketuhanan maka manusia akan
binasa dan akan hilanglah kebebasan mereka sepenuhnya.
Penyembahan kepada selain Allah SWT
bukan hanya sebagai sebuah tragedi yang dapat menghilangkan kebebasan,
namun pengaruh buruknya dapat merembet ke akal manusia dan dapat
mengotorinya. Sebab, Allah SWT menciptakan manusia agar dapat
mengenal-Nya dan menjadikan akalnya sebagai permata yang bertujuan untuk
memperoleh ilmu. Dan ilmu yang paling penting adalah kesadaran bahwa
Allah SWT semata sebagai Pencipta, dan selain-Nya adalah makhluk. Ini
adalah poin penting dan dasar pertama yang harus ada sehingga manusia
sukses sebagai khalifah di muka bumi.
Ketika akal manusia kehilangan
potensinya dan berpaling ke selain Allah SWT maka manusia akan tertimpa
kesalahan. Terkadang seseorang mengalami kemajuan secara materi karena
ia berhasil melalui jalan-jalan kemajuan, meskipun ia tidak beriman
kepada Allah SWT, namun kemajuan materi ini yang tidak disertai dengan
pengenalan kepada Allah SWT akan menjadi siksa yang lebih keras daripada
siksaan apa pun, karena ia pada akhirnya akan menghancurkan manusia itu
sendiri. Ketika manusia menyembah selain Allah SWT maka akan
meningkatlah penderitaan kehidupan dan kefakiran manusia. Terdapat
hubungan kuat antara kehinaan manusia dan kefakiran mereka, serta tidak
berimannya mereka kepada Allah. Allah SWT berfirman:
“Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. ” (QS. al-A’raf: 96)
“Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. ” (QS. al-A’raf: 96)
Demikianlah, bahwa kufur kepada Allah
SWT atau syirik kepada-Nya akan menyebabkan hilangnya kebebasan dan
hancurnya akal serta meningkatnya kefakiran, serta kosongnya kehidupan
dari tujuan yang mulia. Dalam situasi seperti ini, Allah SWT mengutus
Nuh untuk membawa ajaran-Nya kepada kaumnya. Nabi Nuh adalah seorang
hamba yang akalnya tidak terpengaruh oleh polusi kolektif, yang
menyembah selain Allah SWT. Allah SWT memilih hamba-Nya Nuh dan
mengutusnya di tengah-tengah kaumnya.
Nuh membuat revolusi pemikiran. Ia
berada di puncak kemuliaan dan kecerdasan. Ia merupakan manusia terbesar
di zamannya. Ia bukan seorang raja di tengah-tengah kaumnya, bukan
penguasa mereka, dan bukan juga orang yang paling kaya di antara mereka.
Kita mengetahui bahwa kebesaran tidak selalu berhubungan dengan
kerajaan, kekayaan, dan kekuasaan. Tiga hal tersebut biasanya dimiliki
oleh jiwa-jiwa yang hina. Namun kebesaran terletak pada kebersihan hati,
kesucian nurani, dan kemampuan akal untuk mengubah kehidupan di
sekitarnya. Nabi Nuh memiliki semua itu, bahkan lebih dari itu. Nabi Nuh
adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan
Nabi Adam dan anak-anaknya, ketika Dia menciptakan mereka di alam atom.
Berdasarkan fitrah, ia beriman kepada Allah SWT sebelum pengutusannya
pada manusia. Dan semua nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka
diutus. Di antara mereka ada yang “mencari” Allah SWT seperti Nabi
Ibrahim, ada juga di antara mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk
hati yang paling dalam, seperti Nabi Musa, dan di antara mereka juga ada
yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di gua Hira, seperti Nabi
Muhammad saw.
Terdapat sebab lain berkenaan dengan
kebesaran Nabi Nuh. Ketika ia bangun, tidur, makan, minum, atau
mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah
SWT dan memuji-Nya, serta mengingat nikmat-Nya dan selalu bersyukur
kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT berkata tentang Nuh:
“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. al-Isra’: 3)
“Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. al-Isra’: 3)
Allah SWT memilih hamba-Nya yang
bersyukur dan mengutusnya sebagai nabi pada kaumnya. Nabi Nuh keluar
menuju kaumnya dan memulai dakwahnya:
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar. ” (QS. al-A’raf: 59)
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar. ” (QS. al-A’raf: 59)
Dengan kalimat yang singkat tersebut,
Nabi Nuh meletakkan hakikat ketuhanan kepada kaumnya dan hakikat hari
kebangkitan. Di sana hanya ada satu Pencipta yang berhak disembah. Di
sana terdapat kematian, kemudian kebangkitan kemudian hari kiamat. Hari
yang besar yang di dalamnya terdapat siksaan yang besar.
Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya
bahwa mustahil terdapat selain Allah Yang Maha Esa sebagai Pencipta. Ia
memberikan pengertian kepada mereka, bahwa setan telah lama menipu
mereka dan telah tiba waktunya untuk menghentikan tipuan ini. Nuh
menyampaikan kepada mereka, bahwa Allah SWT telah memuliakan manusia:
Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki, dan menganugerahi
akal kepada mereka. Manusia mendengarkan dakwahnya dengan penuh
kekhusukan. Dakwah Nabi Nuh cukup mengguncangkan jiwa mereka. Laksana
tembok yang akan roboh yang saat itu di situ ada seorang yang tertidur
dan engkau meng-goyang tubuhnya agar ia bangun. Barangkali ia akan takut
dan ia marah meskipun engkau bertujuan untuk menyelamatkannya.
Akar-akar kejahatan yang ada di bumi
mendengar dan merasakan ketakutan. Pilar-pilar kebencian terancam dengan
cinta ini yang dibawa oleh Nabi Nuh. Setelah mendengar dakwah Nabi Nuh,
kaumnya terpecah menjadi dua kelompok: Kelompok orang-orang lemah,
orang-orang fakir, dan orang-orang yang menderita, di mana mereka merasa
dilindungi dengan dakwah Nabi Nuh, sedangkan kelompok yang kedua adalah
kelompok orang-orang kaya, orang-orang kuat, dan para penguasa di mana
mereka menghadapi dakwah Nabi Nuh dengan penuh keraguan. Bahkan ketika
mereka mempunyai kesempatan, mereka mulai melancarkan serangan untuk
melawan Nabi Nuh. Mula-mula mereka menuduh bahwa Nabi Nuh adalah manusia
biasa seperti mereka:
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.’” (QS. Hud: 27)
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.’” (QS. Hud: 27)
Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan:
“Masyarakat yang menentang dakwahnya adalah para pembesar dari kaumnya.
Mereka dikatakan al-Mala’ karena mereka seringkali berkata. Misalnya
mereka berkata kepada Nabi Nuh: “Wahai Nuh, engkau adalah manusia
biasa.” Padahal Nabi Nuh juga mengatakan bahwa ia memang manusia biasa.
Allah SWT mengutus seorang rasul dari manusia ke bumi karena bumi dihuni
oleh manusia. Seandainya bumi dihuni oleh para malaikat niscaya Allah
SWT mengutus seorang rasul dari malaikat.
Berlanjutlah peperangan antara
orang-orang kafir dan Nabi Nuh. Mula-mula, rezim penguasa menganggap
bahwa dakwah Nabi Nuh akan mati dengan sendirinya, namun ketika mereka
melihat bahwa dakwahnya menarik perhatian orang-orang fakir, orang-orang
lemah, dan pekerja-pekerja sederhana, mereka mulai menyerang Nabi Nuh
dari sisi ini. Mereka menyerangnya melalui pengikutnya dan mereka
berkata kepadanya: “Tiada yang mengikutimu selain orang-orang fakir dan
orang-orang lemah serta orang-orang hina.”
Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang berdusta. ” (QS. Hud: 25-27)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang berdusta. ” (QS. Hud: 25-27)
Demikianlah telah berkecamuk pertarungan
antara Nabi Nuh dan para bangsawan dari kaumnya. Orang-orang yang kafir
itu menggunakan dalih persamaan dan mereka berkata kepada Nabi Nuh:
“Dengarkan wahai Nuh, jika engkau ingin kami beriman kepadamu maka
usirlah orang-orang yang beriman kepadamu. Sesungguhnya mereka itu
orang-orang yang lemah dan orang-orang yang fakir, sementara kami adalah
kaum bangsawan dan orang-orang kaya di antara mereka. Dan mustahil
engkau menggabungkan kami bersama mereka dalam satu dakwah (majelis).”
Nabi Nuh mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dari
kaumnya. la mengetahui bahwa mereka menentang. Meskipun demikian, ia
menjawabnya dengan baik. Ia memberitahukan kepada kaumnya bahwa ia tidak
dapat mengusir orang-orang mukmin, karena mereka bukanlah tamu-tamunya
namun mereka adalah tamu-tamu Allah SWT. Rahmat bukan terletak dalam
rumahnya di mana masuk di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya dan
terusir darinya orang-orang yang dikehendakinya, tetapi rahmat terletak
dalam rumah Allah SWT di mana Dia menerima siapa saja yang
dikehendaki-Nya di dalamnya. Allah SWT berfirman:
“Berkata Nuh: ‘Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.’ Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkan kamu mengambil pelajaran?’ Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan: ‘Sesungguhnya aku adalah malaikat,’ dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. Hud: 28-31)
“Berkata Nuh: ‘Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.’ Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkan kamu mengambil pelajaran?’ Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan: ‘Sesungguhnya aku adalah malaikat,’ dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. Hud: 28-31)
Nuh mematahkan semua argumentasi
orang-orang kafir dengan logika para nabi yang mulia. Yaitu, logika
pemikiran yang sunyi dari kesombongan pribadi dan
kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh berkata kepada mereka bahwa
Allah SWT telah memberinya agama, kenabian, dan rahmat. Sedangkan mereka
tidak melihat apa yang diberikan Allah SWT kepadanya. Selanjutnya, ia
tidak memaksakan mereka untuk mempercayai apa yang disampaikannya saat
mereka membenci. Kalimat tauhid (tiada Tuhan selain Allah) tidak dapat
dipaksakan atas seseorang. Ia memberitahukan kepada mereka bahwa ia
tidak meminta imbalan dari mereka atas dakwahnya. Ia tidak meminta harta
dari mereka sehingga memberatkan mereka. Sesungguhnya ia hanya
mengharapkan pahala (imbalan) dari Allah SWT. Allahlah yang memberi
pahala kepadanya. Nabi Nuh menerangkan kepada mereka bahwa ia tidak
dapat mengusir orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Meskipun
sebagai Nabi, ia memiliki keterbatasan dan keterbatasan itu adalah tidak
diberikannya hak baginya untuk mengusir orang-orang yang beriman karena
dua alasan. Bahwa mereka akan bertemu dengan Alllah SWT dalam keadaan
beriman kepada-Nya, maka bagaimana ia akan mengusir orang yang beriman
kepada Allah SWT, kemudian seandainya ia mengusir mereka, maka mereka
akan menentangnya di hadapan Allah SWT. Ini berakibat pada pemberian
pahala dari Allah SWT atas keimanan mereka dan balasan-Nya atas siapa
pun yang mengusir mereka. Maka siapakah yang dapat menolong Nabi Nuh
dari siksa Allah SWT seandainya ia mengusir mereka?
Demikianlah Nabi Nuh menunjukkan bahwa
permintaan kaumnya agar ia mengusir orang-orang mukmin adalah tindakan
bodoh dari mereka. Nabi Nuh kembali menyatakan bahwa ia tidak dapat
melakukan sesuatu yang di luar wewenangnya, dan ia memberitahu mereka
akan kerendahannya dan kepatuhannya kepada Allah SWT. Ia tidak dapat
melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari kekuasaan Allah SWT, yaitu
pemberian nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Ia
tidak mengetahui ilmu gaib, karena ilmu gaib hanya khusus dimiliki oleh
Allah SWT. Ia juga memberitahukan kepada mereka bahwa ia bukan seorang
raja, yakni kedudukannya bukan seperti kedudukan para malaikat. Sebagian
ulama berargumentasi dari ayat ini bahwa para malaikat lebih utama dari
pada para nabi (silakan melihat tafsir Qurthubi).
Nabi Nuh berkata kepada mereka:
“Sesungguhnya orang-orang yang kalian pandang sebelah mata, dan kalian
hina dari orang-orang mukmin yang kalian remehkan itu, sesungguhnya
pahala mereka itu tidak sirna dan tidak berkurang dengan adanya
penghinaan kalian terhadap mereka. Sungguh Allah SWT lebih tahu terhadap
apa yang ada dalam diri mereka. Dialah yang membalas amal mereka.
Sungguh aku telah menganiaya diriku sendiri seandainya aku mengatakan
bahwa Allah tidak memberikan kebaikan kepada mereka.”
Kemudian rezim penguasa mulai bosan
dengan debat ini yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Allah SWT menceritakan
sikap mereka terhadap Nabi Nuh dalam flrman-Nya:
“Mereka berkata: ‘Hai Nuh, sesungguhnya
kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang
bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu
ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.’ Nuh
menjawab: ‘Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika
Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. Dan
tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat
kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. Dia adalah
Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. ” (QS. Hud: 32-34)
Nabi Nuh menambahkan bahwa mereka
tersesat dari jalan Allah SWT. Allahlah yang menjadi sebab terjadinya
segala sesuatu, namun mereka memperoleh kesesatan disebabkan oleh
ikhtiar mereka dan kebebasan mereka serta keinginan mereka. Dahulu iblis
berkata:
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat…” (QS. al-A’raf: 16)
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat…” (QS. al-A’raf: 16)
Secara zahir tampak bahwa makna ungkapan
itu berarti Allahlah yang menyesatkannya, padahal hakikatnya adalah
bahwa Allah SWT telah memberinya kebebasan dan kemudian Dia akan meminta
pertanggungjawabannya. Kita tidak sependapat dengan pandangan
al-Qadhariyah, al-Mu’tazilah, dan Imamiyah. Mereka berpendapat bahwa
keinginan manusia cukup sebagai kekuatan untuk melakukan perbuatannya,
baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan. Karena bagi mereka, manusia
adalah pencipta perbuatannya. Dalam hal itu, ia tidak membutuhkan
Tuhannya. Kami tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak. Kami
berpendapat bahwa manusia memang menciptakan perbuatannya namun ia
membutuhkan bantuan Tuhannya dalam melakukannya[1].
Alhasil, Allah SWT mengerahkan setiap
makhluk sesuai dengan arah penciptaannya, baik pengarahann itu menuju
kebaikan atau keburukan. Ini termasuk kebebasan sepenuhnya. Manusia
memilih dengan kebebasannya kemudian Allah SWT mengerahkan jalan menuju
pilihannya itu. Iblis memilih jalan kesesatan maka Allah SWT mengerahkan
jalan kesesatan itu padanya, sedangkan orang-orang kafir dari kaum Nabi
Nuh memilih jalan yang sama maka Allah pun mengerahkan jalan itu pada
mereka.
Peperangan pun berlanjut, dan perdebatan
antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh semakin melebar, sehingga ketika
argumentasi-argumentasi mereka terpatahkan dan mereka tidak dapat
mengatakan sesuatu yang pantas, mereka mulai keluar dari batas-batas
adab dan berani mengejek Nabi Allah.
“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: ‘Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-A’raf: 60)
Nabi Nuh menjawab dengan menggunakan sopan-santun para nabi yang agung.
“Nuh menjawab: ‘Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-A’raf: 61-62)
“Nuh menjawab: ‘Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-A’raf: 61-62)
Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwah di
tengah-tengah kaumnya, waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi
tahun. Berlalulah masa yang panjang itu, namun Nabi Nuh tetap mengajak
kaumnya. Nabi Nuh berdakwah kepada mereka siang malam, dengan
sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, bahkan ia pun memberikan
contoh-contoh pada mereka. Ia menjelaskan kepada mereka tanda-tanda
kebesaran Allah SWT dan kekuasaan-Nya di dunia. Namun setiap kali ia
mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, mereka lari darinya, dan
setiap kali ia mengajak mereka agar Allah SWT mengampuni mereka, mereka
meletakkan jari-jari mereka di telinga-telinga mereka dan mereka
menampakkan kesombongan di depan kebenaran. Allah SWT menceritakan apa
yang dialami oleh Nabi Nuh dalam firman-Nya:
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan keterlaluan. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka dengan cara yang terang-terangan, kemudian aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.’” (QS. Nuh: 5-12)
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan keterlaluan. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka dengan cara yang terang-terangan, kemudian aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.’” (QS. Nuh: 5-12)
Namun apa jawaban kaumnya?
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka telah melakukan tipu-daya yang amat besar. Dan mereka berkata: ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (penyembahan) wadd, suwa, yaghuts, yauq, dan nasr. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,’” (QS. Nuh: 21-24)
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka telah melakukan tipu-daya yang amat besar. Dan mereka berkata: ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (penyembahan) wadd, suwa, yaghuts, yauq, dan nasr. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,’” (QS. Nuh: 21-24)
Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. ” (QS. aPAnkabut: 14)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. ” (QS. aPAnkabut: 14)
Sayangnya, jumlah kaum mukmin tidak
bertambah sedangkan jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh sangat
sedih namun ia tidak sampai kehilangan harapan. la senantiasa mengajak
kaumnya dan berdebat dengan mereka. Namun kaumnya selalu menghadapinya
dengan kesombongan, kekufuran, dan penentangan. Nabi Nuh sangat bersedih
terhadap kaumnya namun ia tidak sampai berputus asa. la tetap menjaga
harapan selama 950 tahun. Tampak bahwa usia manusia sebelum datangnya
topan cukup panjang. Dan barangkali usia panjang bagi Nabi Nuh merupakan
mukjizat khusus baginya.
Datanglah hari di mana Allah SWT
mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang yang beriman dari kaumnya
tidak akan bertambah lagi. Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia tidak
bersedih atas tindakan mereka. Maka pada saat itu, Nabi Nuh berdoa agar
orang-orang kafir dihancurkan. la berkata:
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh: 26)
Nabi Nuh membenarkan doanya dengan alasan:
“Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka
tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka
tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat dan kafir. ” (QS.
Nuh: 27)
Allah SWT berfirman dalam surah Hud:
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang-orang yang telah beriman saja, karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang-orang yang telah beriman saja, karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)
Kemudian Allah SWT menetapkan hukum-Nya
atas orang-orang kafir, yaitu datangnya angin topan. Allah SWT
memberitahu Nuh, bahwa ia akan membuat perahu ini dengan “pengawasan
Kami dan wahyu kami,” yakni dengan ilmu Allah SWT dan pengajaran-Nya,
serta sesuai dengan pengarahan-Nya dan bantuan para malaikat.
Allah SWT menetapkan perintah-Nya kepada Nuh:
“Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)
“Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)
Allah SWT menenggelamkan orang-orang
yang lalim, apa pun kedudukan mereka dan apa pun kedekatan mereka dengan
Nabi. Allah SWT melarang Nabi-Nya untuk berdialog dengan mereka atau
menengahi urusan mereka. Nabi Nuh mulai menanam pohon untuk membuat
perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun, kemudian ia memotong apa
yang ditanamnya dan mulai merakitnya. Akhirnya, jadilah perahu yang
besar, yang tinggi, dan kuat.
Para mufasir berbeda pendapat tentang
besarnya perahu itu, bentuknya, masa pembuatannya, tempat pembuatannya
dan lain-lain. Berkenaan dengan hal tersebut Fakhrur Razi berkata:
“Ketahuilah bahwa pembahasan ini tidak menarik bagiku karena ia
merupakan hal-hal yang tidak perlu diketahuinya. Saya kira mengetahui
hal tersebut hanya mendatangkan manfaat yang sedikit.” Mudah-mudahan
Allah SWT merahmati Fakhrur Razi yang menyatakan kebenaran dengan
kalimatnya itu. Kita tidak mengetahui hakikat perahu ini, kecuali apa
yang telah Allah SWT ceritakan kepada kita tentang hal itu. Misalnya,
kita tidak mengetahui dimana ia dibuat, berapa panjangnya atau lebarnya,
dan kita secara pasti tidak mengetahui selain tempat yang ditujunya
setelah ia berlabuh.
Allah SWT tidak memberikan keterangan
secara detail berkenaan dengan hal tersebut yang tidak memberikan
kepentingan pada kandungan cerita dan tujuannya yang penting. Nabi Nuh
mulai membangun perahu, lalu orang-orang kafir lewat di depannya saat ia
dalam keadaan serius membuat perahu. Saat itu, cuaca atau udara sangat
kering, dan di sana tidak terdapat sungai atau laut yang dekat.
Bagaimana perahu ini akan berlayar wahai Nuh? Apakah ia akan berlayar di
atas tanah? Di manakah air yang memungkinkan bagi perahumu untuk
belayar? Sungguh Nuh telah gila! Orang-orang kafir semakin tertawa
terbahak-bahak dan semakin mengejek Nabi Nuh.
Puncak pertentangan dalam kisah Nabi Nuh
tampak dalam masa ini. Kebatilan mengejek kebenaran dan cukup lama
menertawakan kebenaran. Mereka menganggap bahwa dunia adalah milik
mereka dan bahwa mereka akan selalu mendapatkan keamanan dan bahwa siksa
tidak akan terjadi. Namun anggapan mereka itu tidak terbukti. Datangnya
angin topan menjungkirbalikkan semua perkiraan mereka. Saat itu,
orang-orang mukmin mengejek balik orang-orang kafir dan ejekan mereka
adalah kebenaran. Allah SWT berfirman:
“Dan mulailah Nuh membuat bahtera itu. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan metewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: ‘Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (QS. Hud: 38-39)
“Dan mulailah Nuh membuat bahtera itu. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan metewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: ‘Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (QS. Hud: 38-39)
Selesailah pembuatan perahu dan duduk
menunggu perintah Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa
jika ada yang mempunyai dapur, maka ini sebagai tanda dimulainya angin
topan. Di sebutkan bahwa tafsiran dari at-Tannur ialah oven (alat untuk
memanggang roti) yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya
air dan ia lari maka itu merupakan perintah bagi Nabi Nuh untuk
bergerak. Maka pada suatu hari tannur itu mulai menunjukkan
tanda-tandanya dari dalam rumah Nabi Nuh, lalu Nabi Nuh segera membuka
perahunya dan mengajak orang-orang mukmin untuk menaikinya. Jibril turun
ke bumi. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang
berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut, dan lain-lain. Dalam perahu itu,
Nabi Nuh telah membuat kandang binatang buas.
Jibril menggiring setiap dua binatang
yang berpasangan agar setiap spesies binatang tidak punah dari muka
bumi. Ini berarti bahwa angin topan telah menenggelamkan bumi semuanya,
kalau tidak demikian maka buat apa ia harus mengangkut jenis
binatang-binatang itu. Binatang-binatang mulai menaiki perahu itu
beserta orang-orang yang beriman dari kaumnya. Jumlah orang-orang mukmin
sangat sedikit. Allah SWT berfirman:
“Hingga apabila perintah Kami datang dan tannur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkanlah pula) orang-orang yang beriman.’ Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit. ” (QS. Hud: 40)
“Hingga apabila perintah Kami datang dan tannur telah memancarkan air, Kami berfirman: ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkanlah pula) orang-orang yang beriman.’ Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit. ” (QS. Hud: 40)
Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya
sehingga ia tidak ikut menaiki perahu, dan salah satu anaknya
menyembunyikan kekafirannya dengan menampakkan keimanan di depan Nabi
Nuh, dan ia pun tidak ikut menaikinya. Mayoritas manusia saat itu tidak
beriman sehingga mereka tidak turut berlayar. Hanya orang-orang mukmin
yang mengarungi lautan bersamanya. Ibnu Abbas berkata: “Terdapat delapan
puluh orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman kepadanya.”
Air mulai meninggi yang keluar dari
celah-celah bumi. Tiada satu celah pun di bumi kecuali keluar air
darinya. Sementara dari langit turunlah hujan yang sangat deras yang
belum pernah turun hujan dengan curah seperti itu di bumi, dan tidak
akan ada hujan seperti itu sesudahnya. Lautan semakin bergolak dan
ombaknya menerpa apa saja dan menyapu bumi. Perut bumi bergerak dengan
gerakan yang tidak wajar sehingga bola bumi untuk pertama kalinya
tenggelam dalam air sehingga ia menjadi bola air. Allah SWT berfirman:
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. (QS. al-Qamar: 11-13)
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. (QS. al-Qamar: 11-13)
Air meninggi di atas kepala manusia, dan
ia melampaui ketinggian pohon, bahkan puncak gunung. Akhirnya,
permukaan bumi diselimuti dengan air. Ketika mula-mula datang topan,
Nabi Nuh memanggil-manggil putranya. Putranya itu berdiri agak jauh
darinya. Nabi Nuh memanggilnya dan berkata:
“Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (QS. Hud: 42)
“Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (QS. Hud: 42)
Anak itu menjawab ajakan ayahnya:
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” (QS. Hud: 43)
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” (QS. Hud: 43)
Nabi Nuh kembali menyerunya:
“Tidak add yang melindungi hari ini dari azab Allah selain orang yang dirahmati-Nya. ” (QS. Hud: 43)
“Tidak add yang melindungi hari ini dari azab Allah selain orang yang dirahmati-Nya. ” (QS. Hud: 43)
Selesailah dialog antara Nabi Nuh dan anaknya.
“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. ” (QS. Hud: 43)
“Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. ” (QS. Hud: 43)
Perhatikanlah ungkapan AI-Qur’an
al-Karim: Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Ombak
tiba-tiba mengakhiri dialog mereka. Nabi Nuh mencari, namun ia tidak
mendapati anaknya. Ia tidak menemukan selain gunung ombak yang semakin
meninggi dan meninggi bersama perahu itu. Nabi Nuh ddak dapat melihat
segala sesuatu selain air. Allah SWT berkehendak—sebagai rahmat
dari-Nya—untuk menenggelamkan si anak jauh dari penglihatan si ayah.
Inilah kasih sayang Allah SWT terhadap si ayah. Anak Nabi Nuh mengira
bahwa gunung akan mencegahnya dari kejaran air namun ia pun terkejar dan
tenggelam. Angin topan terus berlanjut dan terus membawa perahu Nabi
Nuh. Setelah berlalu beberapa saat, pemandangan tertuju kepada bumi yang
telah musnah sehingga tiada kehidupan kecuali sebagian kayu yang
darinya Nabi Nuh membuat perahu di mana ia menyelamatkan orang-orang
mukmin, begitu juga berbagai binatang yang ikut bersama mereka. Adalah
hal yang sulit bagi kita untuk membayangkan kedahsyatan topan itu. Yang
jelas, ia menunjukkan kekuasaan Pencipta. Perahu itu berlayar dengan
mereka dalam ombak yang laksana gunung. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa
terpisahnya beberapa benua dan terbentuknya bumi dalam rupa seperti
sekarang adalah sebagai akibat dari topan yang dahulu.
Topan yang dialami oleh Nabi Nuh terus
berlanjut dalam beberapa zaman di mana kita tidak dapat mengetahui
batasnya. Kemudian datanglah perintah Ilahi agar langit menghentikan
hujannya dan agar bumi tetap tenang dan menelan air itu, dan agar
kayu-kayu perahu berlabuh di al-Judi, yaitu nama suatu tempat di zaman
dahulu. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah gunung yang terletak di
Irak. Dengan datangnya perintah Ilahi, bumi kembali menjadi tenang dan
air menjadi surut. Topan telah menyucikan bumi dan membasuhnya. Allah
SWT berfirman:
“Dan difirmankan: ‘Hai bumi telanlah
airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,’ dan air pun disurutkan,
perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas
bukitjudi. Dan dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang lalim. ” (QS. Hud:
44)
Dan air pun disurutkan, yakni air
berkurang dan kembali ke celah-celah bumi. Segala urusan telah
diputuskan dan orang-orang kafir telah hancur sepenuhnya. Dikatakan
bahwa Allah SWT me-mandulkan rahim-rahim wanita selama empat puluh tahun
sebelum datangnya topan, karena itu tidak ada yang terbunuh seorang
anak bayi atau anak kecil.
Firman-Nya: Dan bahtera itu pun berlabuh
di atas bukit judi, yakni ia berlabuh di atasnya. Di sebutkan bahwa
hari itu bertepatan dengan hari Asyura’ (hari kesepuluh dari bulan
Muharam). Lalu Nabi Nuh berpuasa dan memerintahkan orang-orang yang
bersamanya untuk berpuasa juga.
Dikatakan: ‘Binasalah orang-orang yang
lalim, ‘yakni kehancuran bagi mereka. Topan menyucikan bumi dari mereka
dan membersihkannya. Lenyaplah peristiwa yang mengerikan dengan
lenyapnya topan. Dan berpindahlah pergulatan dari ombak ke jiwa Nabi
Nuh. Ia mengingat anaknya yang tenggelam. Nabi Nuh tidak mengetahui saat
itu bahwa anaknya menjadi kafir. Ia menganggap bahwa anaknya sebagai
seorang mukmin yang memilih untuk menyelamatkan diri dengan cara
berlindung kepada gunung. Namun ombak telah mengakhiri percakapan
keduanya sebelum mereka menyelesaikannya. Nabi Nuh tidak mengetahui
seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya. Lalu bergeraklah
naluri kasih sayang dalam hati sang ayah. Allah SWT berfirman:
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. ” (QS. Hud: 45)
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. ” (QS. Hud: 45)
Nuh ingin berkata kepada Allah SWT bahwa
anaknya termasuk dari keluarganya yang beriman dan Dia menjanjikan
untuk menyelamatkan keluarganya yang beriman. Allah SWT berkata dan
menjelaskan kepada Nuh keadaan sebenarnya yang ada pada anaknya:
“Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku memperingatkan kepa-damu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.’” (QS. Hud: 46)
“Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku memperingatkan kepa-damu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.’” (QS. Hud: 46)
Al-Qurthubi berkata—menukil dari
guru-gurunya dari kalangan ulama—ini adalah pendapat yang kami dukung:
“Anaknya berada di sisinya (yakni bersama Nabi Nuh dan dalam dugaannya
ia seorang mukmin). Nabi Nuh tidak berkata kepada Tuhannya:
“Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku,” kecuali karena ia memang
menampakkan hal yang demikian kepadanya. Sebab, mustahil ia meminta
kehancuran orang-orang kafir kemudian ia meminta agar sebagian mereka
diselamatkan.”
Anaknya menyembunyikan kekufuran dan
menampakkan keimanan. Lalu Allah SWT memberitahukan kepada Nuh ilmu gaib
yang khusus dimiliki-Nya. Yakni Allah SWT memberitahunya keadaan
sebenarnya dari anaknya. Allah SWT ketika menasihatinya agar jangan
sampai ia menjadi orang-orang yang tidak mengerti. Dia ingin
menghilangkan darinya anggapan bahwa anaknya beriman kemudian mati
bersama orang-orang kafir.
Di sana terdapat pelajaran penting yang
terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu, yang menceritakan kisah Nabi
Nuh bersama anaknya. Allah SWT ingin berkata kepada Nabi-Nya yang mulia
bahwa anaknya bukan termasuk keluarganya karena ia tidak beriman kepada
Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia.
Anak seorang nabi adalah anaknya yang meyakini akidah, yaitu mengikuti
Allah SWT dan nabi, dan bukan anaknya yang menentangnya, meskipun
berasal dari sulbinya. Jika demikian seorang mukmin harus menghindar
dari kekufuran. Dan di sini juga harus di teguhkan hubungan sesama
akidah di antara orang-orang mukmin. Adalah tidak benar jika hubungan
sesama mereka dibangun berdasarkan darah, ras, warna kulit, atau tempat
tinggal.
Nabi Nuh memohon ampun kepada Tuhannya
dan bertaubat kepada-Nya. Kemudian Allah SWT merahmatinya dan
memerintahkannya untuk turun dari perahu dalam keadaan dipenuhi dengan
keberkahan dari Allah SWT dan penjagaan-Nya:
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh mbelas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi. ” (QS. Hud: 47) “Difirmankan: ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu.’” (QS. Hud: 48)
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh mbelas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi. ” (QS. Hud: 47) “Difirmankan: ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu.’” (QS. Hud: 48)
Nabi Nuh turun dari perahunya dan ia
melepaskan burung-burung dan binatang-binatang buas sehingga mereka
menyebar ke bumi. Setelah itu, orangorang mukmin juga tumn. Nabi Nuh
meletakkan dahinya ke atas tanah dan bersujud. Saat itu bumi masih basah
karena pengaruh topan. Nabi Nuh bangkit setelah salatnya dan menggali
pondasi untuk membangun tempat ibadah yang agung bagi Allah SWT.
Orang-orang yang selamat menyalakan api dan duduk-duduk di
sekelilinginya. Menyalakan api sebelumnya di larang di dalam perahu
karena dikhawatirkan api akan menyentuh kayu-kayunya dan membakarnya.
Tak seorang pun di antara mereka yang memakan makanan yang hangat selama
masa topan.
Berlalulah hari puasa sebagai tanda
syukur kepada Allah SWT. Al-Qur’an tidak lagi menceritakan kisah Nabi
Nuh setelah topan sehingga kita tidak mengetahui bagaimana peristiwa
yang dialami Nabi Nuh bersama kaumnya. Yang kita ketahui atau yang perlu
kita tegaskan bahwa Nabi Nuh mewasiatkan kepada putra-putranya saat ia
meninggal agar mereka hanya menyembah Allah SWT.