Allah SWT berkehendak untuk menciptakan Nabi Adam. Allah SWT berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. ” (QS. al-Baqarah: 30)
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. ” (QS. al-Baqarah: 30)
Terdapat perbedaan pendapat berkenaan
dengan makna khilafah (perihal menjadi khalifah) Nabi Adam. Ada yang
mengatakan, bahwa ia sebagai khalifah dari kelompok manusia yang
pertama-tama datang ke bumi di mana kelompok ini membuat kerusakan dan
menumpahkan darah di dalamnya. Ada yang mengatakan, bahwa ia adalah
khalifatullah, dengan pengertian bahwa ia sebagai khalifah (utusan
Allah) dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan hukum-hukum-Nya,
karena ia adalah utusan Allah yang pertama. Demikianlah yang kami
yakini.
Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah saw
tentang Nabi Adam: “Apakah ia sebagai nabi yang diutus?” Beliau
menjawab: “Benar.” Beliau ditanya: “Ia menjadi rasul bagi siapa?
Sementara di bumi tidak ada seorang pun?” Beliau menjawab: “Ia menjadi
rasul bagi anak-anaknya.”
Tabir penciptaan disingkap di tengah-tengah para malaikat-Nya. Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS. al-Baqarah: 30)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (QS. al-Baqarah: 30)
Berkenaan dengan ayat tersebut, para
mufasir memberikan komentar yang beragam. Dalam tafsir al-Manar
disebutkan: “Sesungguhnya ayat-ayat ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat
yang tidak dapat ditafsirkan zahirnya. Sebab, dilihat dari ketentuan
dialog (at-Takhathub) ia mengandung konsultasi dari Allah SWT. Tentu
yang demikian itu mustahil bagi-Nya. Di samping itu, ia juga mengandung
pemberitahuan dari-Nya kepada para malaikat yang kemudian diikuti
dengan penentangan dan perdebatan dari mereka. Hal seperti ini tidak
layak bagi Allah SWT dan bagi para malaikat-Nya. Saya lebih setuju untuk
mengalihkan makna cerita tersebut pada sesuatu yang lain.”
Sedangkan dalam tafsir al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya Allah telah memberitahukan
kepada para malaikat-Nya, bahwa jika Dia menjadikan ciptaan di muka bumi
maka mereka akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah.” Ketika Allah
berfirman:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi, ” (QS. al-Baqarah: 30)
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi, ” (QS. al-Baqarah: 30)
Mereka bertanya: “Apakah ini adalah
khalifah yang Engkau ceritakan kepada kami bahwa mereka akan membuat
kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah, ataukah khalifah
selainnya?” Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya
para malaikat melalui fitrah mereka yang suci yang tidak membayangkan
kecuali kebaikan dan kesucian, mereka mengira bahwa tasbih dan
mengultuskan Allah adalah puncak dari segala wujud. Puncak ini terwujud
dengan adanya mereka, sedangkan pertanyaan mereka hanya menggambarkan
keheranan mereka, bukan berasal dari penentangan atau apa pun juga.”
Kita melihat bagaimana para mufasir
berijtihad untuk menyingkap hakikat, lalu Allah SWT menyingkapkan
kedalaman dari Al-Qur’an pada masing-masing dari mereka. Kedalaman
Al-Qur’an sangat mengagumkan. Kisah tersebut disampaikan dalam gaya
dialogis, suatu gaya yang memiliki pengaruh yang kuat. Tidakkah Anda
melihat bahwa Allah SWT berfirman:
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’” (QS. Fushshilat: 11)
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’” (QS. Fushshilat: 11)
Apakah seseorang membayangkan bahwa
Allah SWT berbicara dengan langit dan bumi, dan bumi dan langit pun
menjawabnya sehingga terjadi dialog ini di antara mereka? Sesungguhnya
Allah SWT memerintahkan langit dan bumi sehingga keduanya taat. Allah
SWT menggambarkan apa yang terjadi dengan gaya dialogis hanya untuk
meneguhkan dalam pikiran dan menegaskan maknanya serta penjelasannya.
Penggunaan gaya dramatis dalam kisah Nabi Adam mengisyaratkan makna yang
dalam.
Kita membayangkan bahwa Allah SWT ketika
menetapkan penciptaan Nabi Adam, Dia memberitahukan kepada malaikat-Nya
dengan tujuan agar mereka bersujud kepadanya, bukan dengan tujuan
mengambil pendapat mereka atau bermusyawarah dengan mereka. Maha Suci
Allah SWT dari hal yang demikian itu. Allah SWT memberitahukan mereka
bahwa Dia akan menjadikan seorang hamba di muka bumi, dan bahwa khalifah
ini akan mempunyai keturunan dan cucu-cucu, di mana mereka akan membuat
kerusakkan di muka bumi dan menumpahkan darah di dalamnya. Lalu para
malaikat yang suci mengalami kebingungan. Bukankah mereka selalu
bertasbih kepada Allah dan mensucikan-Nya, namun mengapa khalifah yang
terpilih itu bukan termasuk dari mereka? Apa rahasia hal tersebut, dan
apa hikmah Allah dalam masalah ini? Kebingungan melaikat dan keinginan
mereka untuk mendapatkan kemuliaan sebagai khalifah di muka bumi, dan
keheranan mereka tentang penghormatan Adam dengannya, dan masih banyak
segudang pertanyaan yang tersimpan dalam diri mereka. Namun Allah SWT
segera menepis keraguan mereka dan kebingungan mereka, dan membawa
mereka menjadi yakin dan berserah diri. Firman-Nya:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)
Ayat tersebut menunjukan keluasan ilmu
Allah SWT dan keterbatasan ilmu para malaikat, yang karenanya mereka
dapat berserah diri dan meyakini kebenaran kehendak Allah. Kita tidak
membayangkan terjadinya dialog antara Allah SWT dan para malaikat
sebagai bentuk pengultusan terhadap Allah dan penghormatan terhadap para
malaikat-Nya. Dan kita meyakini bahwa dialog terjadi dalam diri
malaikat sendiri berkenaan dengan keinginan mereka untuk mengemban
khilafah di muka bumi, kemudian Allah SWT memberitahu mereka bahwa
tabiat mereka bukan disiapkan untuk hal tersebut.
Sesungguhnya tasbih pada Allah SWT dan
menyucikan-Nya adalah hal yang sangat mulia di alam wujud, namun
khilafah di muka bumi bukan hanya dilakukan dengan hal itu. Ia
membutuhkan karakter yang lain, suatu karakter yang haus akan
pengetahuan dan lumrah baginya kesalahan. Kebingungan atau keheranan
ini, dialog yang terjadi dalam jiwa para malaikat setelah diberitahu
tentang penciptaan Nabi Adam, semua ini layak bagi para malaikat dan
tidak mengurangi kedudukan mereka sedikit pun. Sebab, meskipun kedekatan
mereka dengan Allah SWT dan penyembahan mereka terhadap-Nya serta
penghormatan-Nya kepada mereka, semua itu tidak menghilangkan kedudukan
mereka sebagai hamba Allah SWT di mana mereka tidak mengetahui ilmu
Allah SWT dan hikmah-Nya yang tersembunyi, serta alam gaibnya yang
samar. Mereka tidak mengetahui hikmah-Nya yang tinggi dan sebab-sebab
perwujudannya pada sesuatu.
Setelah beberapa saat para malaikat akan
memahami bahwa Nabi Adam adalah ciptaan baru, di mana dia berbeda
dengan mereka yang hanya bertasbih dan menyucikan Allah, dan dia pun
berbeda dengan hewan-hewan bumi dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya
yang hanya menumpahkan darah dan membuat kerusakkan. Sesungguhnya Nabi
Adam akan menjadi ciptaan baru dan keberadaannya disertai dengan hikmah
yang tinggi yang tidak ada seorang pun mengetahuinya kecuali Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Ibnu Abbas membaca ayat tersebut:
“Liya’rifuun” (agar mereka mengenal Aku). Pengetahuan merupakan tujuan
dari penciptaan manusia. Dan barangkali pendekatan yang terbaik
berkenaan dengan tafsir ayat tersebut adalah apa yang disampaikan oleh
Syekh Muhammad Abduh: “Dialog yang terdapat dalam ayat tersebut adalah
urusan Allah SWT dengan para malaikat-Nya di mana Dia menggambarkan
kepada kita dalam kisah ini dengan ucapan, pertanyaan, dan jawaban. Kita
tidak mengetahui hakikat hal tersebut. Tetapi kita mengetahui bahwa
dialog tersebut tidak terjadi sebagaimana lazimnya yang dilakukan oleh
sesama kita, manusia.”
Para malaikat mengetahui bahwa Allah SWT
akan menciptakan khalifah di muka bumi. Allah SWT menyampaikan
perintah-Nya kepada mereka secara terperinci. Dia memberitahukan bahwa
Dia akan menciptakan manusia dari tanah. Maka ketika Dia
menyempurnakannya dan meniupkan roh di dalamnya, para malaikat harus
bersujud kepadanya. Yang harus dipahami bahwa sujud tersebut adalah
sujud penghormatan, bukan sujud ibadah, karena sujud ibadah hanya
diperuntukkan kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.’ Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; hendaklah kamu bersyukur dengan bersujud kepadanya. ‘ Lalu seluruh malikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis. Dia menyombongkan diri dan dia termasuk orang-orang yang kafir. ” (QS. Shad: 71-74)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.’ Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; hendaklah kamu bersyukur dengan bersujud kepadanya. ‘ Lalu seluruh malikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis. Dia menyombongkan diri dan dia termasuk orang-orang yang kafir. ” (QS. Shad: 71-74)
Allah SWT mengumpulkan segenggam tanah
dari bumi; di dalamnya terdapat yang berwarna putih, hitam, kuning,
coklat dan merah. Oleh karena itu, manusia memiliki beragam warna kulit.
Allah SWT mencampur tanah dengan air sehingga menjadi tanah liat kering
yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dari tanah inilah
Allah menciptakan Nabi Adam. Allah SWT menyempurnakannya dengan
kekuasaan-Nya lalu meniupkan roh-Nya di dalamnya, kemudian bergeraklah
tubuh Nabi Adam dan tanda kehidupan mulai ada di dalamnya.
Selanjutnya, Nabi Adam membuka kedua
matanya dan ia melihat para malaikat semuanya bersujud kepadanya,
kecuali satu makhluk yang berdiri di sana. Nabi Adam tidak tahu siapakah
makhluk yang tidak mau bersujud itu. Ia tidak mengenal namanya. Iblis
berdiri bersama para malaikat tetapi ia bukan berasal dari golongan
mereka. Iblis berasal dari kelompok jin. Allah SWT menceritakan kisah
penolakan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam pada beberapa surah. Allah
SWT berfirman:
“Allah berfirman: ‘Hai Mis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi? ‘Iblis berkata: ‘Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman: ‘Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.’ Mis berkata: ‘Ya Tuhanku, ben tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat).’ Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.’” (QS. Shad: 75-83)
“Allah berfirman: ‘Hai Mis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi? ‘Iblis berkata: ‘Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman: ‘Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.’ Mis berkata: ‘Ya Tuhanku, ben tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat).’ Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.’” (QS. Shad: 75-83)
Nabi Adam mengikuti peristiwa yang
terjadi di depannya. Ia merasakan suasana cinta, rasa takut, dan
kebingungan. Nabi Adam sangat cinta kepada Allah SWT yang telah
menciptakannya dan memuliakannya dengan memerintahkan para malaikat-Nya
untuk sujud kepadanya. Adam juga merasa takut saat melihat Allah SWT
marah terhadap iblis dan mengusirnya dari pintu rahmat-Nya. Ia merasakan
kebingungan ketika melihat makhluk ini yang membencinya, padahal ia
belum mengenalnya. Makhluk itu membayangkan bahwa ia lebih baik dari
Nabi Adam, padahal tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa salah satu
dari mereka lebih baik dibandingkan dengan yang lain.
Kemudian alangkah anehnya alasan iblis.
Ia membayangkan bahwa api lebih baik dari tanah. Dari mana ia
mendapatkan ilmu ini? Seharusnya ilmu ini berasal dari Allah SWT karena
Dialah yang menciptakan api dan tanah dan mengetahui mana di antara
keduanya yang paling utama.
Dari dialog tersebut, Nabi Adam
mengetahui bahwa iblis adalah makhluk yang memakai atribut keburukan dan
sifat yang tercela. Ia meminta kepada Allah SWT agar mengekalkannya
sampai hari kebangkitan. Iblis tidak ingin mad. Namun Allah SWT
mengetahui bahwa ia akan tetap hidup sampai hari yang ditentukan. Ia
akan hidup sampai menjemput ajalnya dan kemudian mati. Nabi Adam
mengetahui bahwa Allah SWT telah melaknat iblis dan telah mengusirnya
dari rahmat-Nya. Akhirnya, Nabi Adam mengetahui musuh abadinya. Nabi
Adam bingung dengan kenekatan musuhnya dan kasih sayang Allah SWT.
Barangkali ada seseorang yang bertanya
kepada saya: “Mengapa Anda tidak meyakini terjadi dialog antara Allah
SWT dan para malaikat-Nya dan Anda cenderung menakwilkan ayat-ayat
tersebut, sedangkan Anda menerima adanya dialog antara Allah dan iblis.”
Saya jawab: “Sesungguhnya akal menunjukkan kita kepada kesimpulan
tersebut. Terjadinya dialog antara Allah SWT dan para malaikat-Nya
adalah hal yang mustahil karena para malaikat suci dari kesalahan dan
dosa dan keinginan-keinginan manusiawi yang selalu mencari ilmu. Sesuai
dengan karakter penciptaan mereka, mereka adalah pasukan yang setia dan
mulia. Adapun iblis ia terikat dan tunduk terhadap ketentuan agama, dan
karakternya sebagai jin mendekati karakter jenis ciptaan Nabi Adam.
Dengan kata lain, bahwa jin dapat beriman dan dapat juga menjadi kafir.
Sesungguhnya kecenderungan agama mereka dapat saja tidak berfungsi
ketika mereka tertipu oleh kesombongan yang palsu sehingga mereka
mempunyai gambaran yang salah. Maka dari sisi inilah terjadi dialog.
Dialog di sini berarti kebebasan. Tabiat manusia dan jin cenderung untuk
menggunakan kebebasannya, sedangkan tabiat para malaikat tidak dapat
menggunakan kebebasan. Nabi Adam menyaksikan secara langsung—setelah
penciptaannya— kadar kebebasan yang Allah SWT berikan kepada makhluk-Nya
yang terkena tanggung jawab. Terjadinya pelajaran ini di depan Nabi
Adam mengandung maksud yang dalam.
Allah SWT tidak pernah mencabut
kebebasan yang diberikan-Nya kepada iblis. Namun pada akhirnya, iblis
tetap sebagai hamba yang kafir. Iblis benar-benar menolak untuk sujud
kepada Nabi Adam. Allah SWT mengetahui bahwa ia akan menolak untuk sujud
kepada Nabi Adam dan akan menentang-Nya. Bisa saja Allah SWT
menghancurkannya atau mengubahnya menjadi tanah namun Allah memberikan
kebebasan kepada makhluk-makhluk-Nya yang dibebani tanggung jawab. Dia
memberikan kepada mereka kebebasan mutlak sehingga mereka bisa saja
menolak perintah-Nya. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa keingkaran
orang-orang kafir dan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya tidak
berarti meng-urangi kebesaran kerajaan-Nya dan sebaliknya, keimanan
orang-orang mukmin dan kepatuhan orang-orang yang taat tidak berarti
menambah kebesaran kekuasaan-Nya. Semua itu kembali kepada mereka.
Adam menyadari bahwa kebebasan di alam
wujud adalah merupakan karunia yang Allah SWT berikan kepada
makhluk-Nya. Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas penggunaan
kebebasan itu. Setelah mempelajari pelajaran kebebasan, Nabi Adam
mempelajari pelajaran kedua dari Allah SWT, yaitu ilmu. Nabi Adam
mengetahui bahwa iblis adalah simbol kejahatan di alam wujud.
Sebagaimana ia mengetahui bahwa para malaikat adalah simbol kebaikan,
sementara ia belum mengenal dirinya saat itu. Kemudian Allah SWT
memberitahukan kepadanya tentang hakikatnya, hikrnah penciptaannya, dan
rahasia penghormatannya. Allah SWT berfirman:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. ” (QS. al-Baqarah: 31)
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. ” (QS. al-Baqarah: 31)
Allah SWT memberinya rahasia kemampuan
untuk meringkas sesuatu dalam simbol-simbol dan nama-nama. Allah SWT
mengajarinya untuk menamakan benda-benda: ini burung, ini bintang, ini
pohon, ini awan, dan seterusnya. Nabi Adam mempelajari semua nama-nama
tersebut. Yang dimaksud dengan nama-nama di sini adalah ilmu dan
pengetahuan. Allah SWT menanamkan pengetahuan yang luas dalam jiwa Nabi
Adam dan keinginan yang terus mendorongnya untuk mengetahui sesuatu.
Hasrat untuk menggali ilmu dan belajar juga diwariskan kepada
anak-anaknya Nabi Adam. Inilah tujuan dari penciptaan Nabi Adam dan
inilah rahasia di balik penghormatan para malaikat kepadanya. Setelah
Nabi Adam mempelajari nama benda-benda; kekhususannya dan
kemanfaatannya, Allah SWT menunjukkan benda-benda tersebut atas para
malaikat-Nya dan berkata:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itujika kamu memang orang-orangyang benar. ” (QS. al-Baqarah: 31)
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itujika kamu memang orang-orangyang benar. ” (QS. al-Baqarah: 31)
Yang dimaksud adalah kebenaran mereka
untuk menginginkan khilafah. Para malaikat memperhatikan sesuatu yang
ditunjukkan oleh Allah SWT kepada mereka, namun mereka tidak mengenali
nama-namanya. Mereka mengakui di hadapan Allah SWT tentang kelemahan
mereka untuk menamai benda-benda tersebut atau memakai simbol-simbol
untuk mengungkapkannya. Para malaikat berkata sebagai bentuk pengakuan
terhadap ketidakmampuan mereka:
“Maha Suci Engkau.” (QS. al-Baqarah: 32)
“Maha Suci Engkau.” (QS. al-Baqarah: 32)
Yakni, kami menyucikan-Mu dan mengagungkan-Mu.
“Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 32)
“Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 32)
Yakni, mereka mengembalikan semua ilmu kepada Allah SWT. Allah SWT berkata kepada Adam:
“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” (QS. al-Baqarah: 33)
“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” (QS. al-Baqarah: 33)
Kemudian Nabi Adam memberitahu mereka
setiap benda yang Allah SWT tunjukkan kepada mereka dan mereka tidak
mengenali nama-namanya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat itu lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?’”(QS. al-Baqarah: 31-33)
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat itu lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?’”(QS. al-Baqarah: 31-33)
Allah SWT ingin berkata kepada para
malaikat, bahwa Dia mengetahui keheranan yang mereka tunjukkan, ketika
Dia memberitahu mereka tentang penciptaan Nabi Adam sebagaimana Dia
mengetahui kebingungan yang mereka sembunyikan dan sebagaimana juga Dia
mengetahui kemaksiatan dan pengingkaran yang disembunyikan oleh iblis.
Para malaikat menyadari bahwa Nabi Adam
adalah makhluk yang mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui. Ini
adalah hal yang sangat mulia. Dan para malaikat mengetahui, mengapa
Allah memerintahkan mereka untuk bersujud kepadanya sebagaimana mereka
memahami rahasia penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi, di mana ia
akan menguasainya dan memimpin di dalamnya dengan ilmu dan pengetahuan.
Yaitu, pengetahuan terhadap Sang Pencipta yang kemudian dinamakan
dengan Islam atau iman. Para malaikat pun mengetahui sebab-sebab
kemakmuran bumi dan pengubahannya dan penguasaanya, serta semua hal yang
berkenaan dengan ilmu-ilmu mated di muka bumi.
Adalah hal yang maklum bahwa
kesempurnaan manusia tidak akan terwujud kecuali dengan pencapaian ilmu
yang dengannya manusia dapat mengenal Sang Pencipta, dan ilmu-ilmu yang
berkenaan dengan alam. Jika manusia berhasil di satu sisi, namun gagal
di sisi yang lain maka ia laksana burung yang terbang dengan sayap satu
di mana setiap kali ia terbang sayap yang lain mencegahnya.
Nabi Adam mengetahui semua nama-nama dan
terkadang ia berbicara bersama para malaikat, namun para malaikat
disibukkan dengan ibadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Adam merasa
kesepian. Kemudian Adam tidur dan tatkala ia bangun ia mendapati seorang
perempuan yang memiliki mata yang indah, dan tampak penuh dengan kasih
sayang. Kemudian terjadilah dialog di antara mereka:
Adam berkata: “Mengapa kamu berada di
sini sebelum saya tidur.” Perempuan itu menjawab: “Ya.” Adam berkata:
“Kalau begitu, kamu datang di tengah-tengah tidurku?” Ia menjawab: ‘Ya.”
Adam bertanya: “Dari mana kamu datang?” Ia menjawab: “Aku datang dari
dirimu. Allah SWT menciptakan aku darimu saat kamu tidur.” Adam
bertanya: “Mengapa Allah menciptakan kamu?” Ia menjawab: “Agar engkau
merasa tenteram denganku.” Adam berkata: “Segala puji bagi Allah. Aku
memang merasakan kesepian.”
Para malaikat bertanya kepada Adam
tentang namanya. Nabi Adam menjawab: “Namanya Hawa.” Mereka bertanya:
“Mengapa engkau menamakannya Hawa, wahai Adam?” Adam berkata: “Karena ia
diciptakan dariku saat aku dalam keadaan hidup.”
Nabi Adam adalah makhluk yang suka
kepada pengetahuan. Ia membagi pengetahuannya kepada Hawa, di mana ia
menceritakan apa yang diketahuinya kepada pasangannya itu, sehingga Hawa
mencintainya. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Baqarah: 35)
“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Baqarah: 35)
Kita tidak mengetahui tempat surga ini.
Al-Qur’an tidak membicarakan tempatnya, dan para mufasir berbeda
pendapat tentang hal itu. Sebagian mereka berkata: “Itu adalah surga
yang bakal dihuni oleh manusia (jannah al-Ma’wa) dan tempatnya di
langit.” Namun sebagian lagi menolak pendapat tersebut. Sebab jika ia
adalah jannah al-Ma’wa maka iblis tidak dapat memasukinya dan tidak akan
terjadi kemaksiatan di dalamnya. Sebagian lagi mengatakan: “Ia adalah
surga yang lain, yang Allah ciptakan untuk Nabi Adam dan Hawa.” Bahkan
ada juga yang berpendapat bahwa ia adalah surga (taman) dari taman-taman
bumi yang terletak di tempat yang tinggi. Dan sekelompok mufasir yang
lain menganjurkan agar kita menerima ayat tersebut apa adanya dan
menghentikan usaha untuk mencari hakikatnya. Kami sendiri sependapat
dengan hal ini. Sesungguhnya pelajaran yang dapat kita ambil berkenaan
dengan penentuan tempatnya tidak sedikit pun menyamai pelajaran yang
dapat kita ambil dari apa yang terjadi di dalamnya.
Nabi Adam dam Hawa memasuki surga dan di
sana mereka berdua merasakan kenikmatan manusiawi semuanya. Di sana
mereka juga mengalami pengalaman-pengalaman yang berharga. Kehidupan
Nabi Adam dan Hawa di surga dipenuhi dengan kebebasan yang tak terbatas.
Dan Nabi Adam mengetahui makna kebahagiaan yang ia rasakan pada saat ia
berada di surga bersama Hawa. Ia tidak lagi mengalami kesepian. Ia
banyak menjalin komunikasi dengan Hawa. Mereka menikmati nyanyian
makhluk, tasbih sungai-sungai, dan musik alam sebelum ia mengenal bahwa
alam akan disertai dengan penderitaan dan kesedihan. Allah SWT telah
mengizinkan bagi mereka untuk mendekati segala sesuatu dan menikmati
segala sesuatu selain satu pohon, yang barangkali ia adalah pohon
penderitaan atau pohon pengetahuan. Allah SWT berkata kepada mereka
sebelum memasuki surga:
“Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Baqarah: 35)
“Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Baqarah: 35)
Nabi Adam dan Hawa mengerti bahwa mereka
dilarang untuk memakan sesuatu dari pohon ini, namun Nabi Adam adalah
manusia biasa, dan sebagai manusia ia lupa dan hatinya berbolak-balik
serta tekadnya melemah. Maka iblis memanfaatkan kemanusiaan Nabi Adam
dan mengumpulkan segala kedengkiannya yang disembunyikan dalam dadanya.
Iblis terus berusaha membangkitkan waswas dalam diri Nabi Adam. Apakah
aku akan menunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kekuasaan yang tidak
akan sirna? Nabi Adam bertanya-tanya dalam dirinya. Apa yang akan
terjadi seandainya ia memakan buah tersebut, barangkali itu benar-benar
pohon keabadian. Nabi Adam memang memimpikan untuk kekal dalam
kenikmatan dan kebebasan yang dirasakannya dalam surga.
Berlalulah waktu di mana Nabi Adam dan
Hawa sibuk memikirkan pohon itu. Kemudian pada suatu hari mereka
menetapkan untuk memakan pohon itu. Mereka lupa bahwa Alllah SWT telah
mengingatkan mereka agar tidak mendekatinya. Mereka lupa bahwa iblis
adalah musuh mereka sejak dahulu. Nabi Adam mengulurkan tangannya ke
pohon itu dan memetik salah satu buahnya dan kemudian memberikannya
kepada Hawa. Akhirnya mereka berdua memakan buah terlarang itu.
Allah SWT berfirman:
“Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS. Thaha: 121)
“Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS. Thaha: 121)
Tidak benar apa yang disebutkan oleh
kitab-kitab kaum Yahudi bahwa Hawa menggoda Nabi Adam yang karenanya ia
bertanggung jawab terhadap pemakanan buah itu. Nas Al-Qur’an tidak
menyebut Hawa, namun ia menyebut Nabi Adam sebagai orang yang
bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Demikianlah setan disalahkan
dan Nabi Adam juga disalahkan karena kesombongan. Salah seorang dari
mereka menghina manusia, dan yang lain ingin menjadi tandingan bagi
Allah SWT dalam hal kekekalan.
Belum selesai Nabi Adam memakan buah
tersebut sehingga ia merasakan penderitaan, kesedihan, dan rasa malu.
Berubahlah keadaan di sekitamya dan berhentilah musik indah yang
memancar dari dalam dirinya. Ia mengetahui bahwa ia tak berbusana,
demikian juga istrinya. Akhirnya, ia mengetahui bahwa ia seorang lelaki
dan bahwa istrinya seorang wanita. Ia dan istrinya mulai memetik
daun-daun pohon untuk menutup tubuh mereka yang terbuka. Kemudian Allah
SWT mengeluarkan perintah agar mereka turun dari surga.
Nabi Adam dan Hawa turun ke bumi. Mereka
keluar dari surga. Nabi Adam dalam keadaan sedih sementara Hawa tidak
henti-hentinya menangis. Karena ketulusan taubat mereka, akhirnya Allah
SWT menerima taubat mereka dan Allah SWT memberitahukan kepada mereka
bahwa bumi adalah tempat mereka yang asli, di mana mereka akan hidup di
dalamnya, mati di atasnya, dan akan dibangkitkan darinya pada hari
kebangkitan. Allah SWT berfirman:
“Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan. ” (QS. al-A’raf: 25)
“Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan. ” (QS. al-A’raf: 25)
Kemudian Allah SWT menceritakan kisah
tentang pelajaran ketiga yang diperoleh Nabi Adam selama keberadaannya
di surga dan setelah keluarnya ia darinya dan turunnya ia ke bumi.
Allah SWT berfirman:
“Dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka sujud kecuali Mis. la membangkang. Maka Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula akan ditimpa panas matahari di dalamnya.’ Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa ?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.’” (QS. Thaha: 115-123)
“Dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka sujud kecuali Mis. la membangkang. Maka Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula akan ditimpa panas matahari di dalamnya.’ Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa ?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.’” (QS. Thaha: 115-123)
Sebagian orang menganggap bahwa Nabi
Adam keluar dari surga karena kesalahannya dan kemaksiatannya. Ini
adalah anggapan yang tidak benar karena Allah SWT berkehendak
menciptakan Nabi Adam di mana Dia berkata kepada malaikat:
“Sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Dan
Dia tidak mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya aku akan menjadikan
khalifah di surga.”
Tidaklah turunnya Nabi Adam ke bumi
sebagai penurunan penghinaan tetapi ia merupakan penurunan kemuliaan
sebagaimana dikatakan oleh kaum sufi. Allah SWT mengetahui bahwa Nabi
Adam dan Hawa akan memakan buah itu, dan selanjutnya mereka akan turun
ke bumi. Allah SWT juga mengetahui bahwa setan akan merampas kebebasan
mereka. Pengalaman merupakan dasar penting dari proses menjadi khalifah
di muka bumi agar Nabi Adam dan Hawa mengetahui—begitu juga keturunan
mereka— bahwa setan telah mengusir kedua orang tua mereka dari surga,
dan bahwa jalan menuju surga dapat dilewati dengan ketaatan kepada Allah
SWT dan permusuhan pada setan.
Apakah dikatakan kepada kita bahwa
manusia adalah makhluk yang terpaksa, dan bahwa Nabi Adam terpaksa atau
dipaksa untuk berbuat kesalahan sehingga ia keluar dari surga dan
kemudian turun ke bumi? Sebenarnya anggapan ini tidak kalah bodohnya
dari anggapan pertama. Sebab, Nabi Adam merasakan kebebasan sepenuhnya,
yang karenanya ia mengemban tanggung jawab dari perbuatannya. Ia durhaka
dan memakan buah tersebut sehingga Allah SWT mengeluarkannya dari
surga. Maksiat yang dilakukannya tidak berlawanan dengan kebebasannya,
bahkan keberadaannya yang asli bersandar kepada kebebasannya. Alhasil,
Allah SWT mengetahui apa yang bakal terjadi. Dia mengetahui sesuatu
sebelum terjadinya sesuatu itu. Pengetahuan-Nya itu berarti cahaya yang
menyingkap, bukan kekuatan yang memaksa. Dengan kata lain, Allah SWT
mengetahui apa yang akan terjadi, tetapi Dia tidak men-cegahnya atau
mendorongnya agar terjadi. Allah SWT memberikan kebebasan kepada
hamba-hamba-Nya dan semua makhluk-Nya. Yang demikian itu berkenaan
dengan hikmah-Nya yang tinggi dalam memakmurkan bumi dan mengangkat
khalifah di dalamnya.
Nabi Adam memahami pelajaran ketiga. Ia
memahami bahwa iblis adalah musuhnya. Secara pasti ia mengerti bahwa
iblis adalah penyebab ia kehilangan nikmat dan penyebab kehancurannya.
Ia mengerti bahwa Allah SWT akan menyiksa seseorang jika ia berbuat
maksiat, dan bahwa jalan menuju ke surga dapat dilewati dengan ketaatan
kepada Allah SWT. Ia memahami bahwa Allah SWT menerima taubat,
memaafkan, menyayangi, dan memilih. Allah SWT mengajari mereka agar
beristigfar dan mengucapkan:
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf: 23)
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf: 23)
Allah SWT menerima taubatnya dan
memaafkannya serta mengirimnya ke bumi. Nabi Adam adalah Rasul pertama
bagi manusia. Mulailah kehidupan Nabi Adam di bumi. Ia keluar dari surga
dan berhijrah ke bumi, dan kemudian ia menganjurkan hal tersebut
(hijrah) kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya dari kalangan nabi.
Sehingga setiap nabi memulai dakwahnya dan menyuruh kaumnya dengan cara
keluar dari negerinya atau berhijrah. Di sana Nabi Adam keluar dari
surga sebelum kenabiannya, sedangkan di sini (di bumi) para nabi
biasanya keluar (hijrah) setelah pengangkatan kenabian mereka.
Nabi Adam mengetahui bahwa ia
meninggalkan kedamaian ketika keluar dari surga. Di bumi ia harus
menghadapi penderitaan dan pergulatan, di mana ia harus menanggung
kesulitan agar dapat makan, dan ia harus melindungi dirinya dengan
pakaian dan senjata, serta melindungi istrinya dan anak-anaknya dari
serangan binatang buas yang hidup di bumi. Sebelum semua itu dan
sesudahnya, ia harus meneruskan pertempurannya dengan pangkal kejahatan
yang menyebabkannya keluar dari surga, yaitu setan. Di bumi, setan
membuat waswas kepadanya dan kepada anak-anaknya sehingga mereka masuk
dalam neraka Jahim. Pertempuran antara pasukan kebaikan dan pasukan
kejahatan di bumi tidak akan pernah berhenti. Maka barangsiapa yang
mengikuti petunjuk Allah SWT, ia tidak akan merasakan ketakutan dan
kesedihan, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah SWT dan
mengikuti makhluk api, iblis, maka ia akan bersamanya di neraka.
Nabi Adam mengerti semua ini. Ia
menyadari bahwa penderitaan akan menyertai kehidupannya di atas bumi.
Satu-satunya yang dapat meringankan kesedihannya adalah, bahwa ia
menjadi penguasa di bumi, yang karenanya ia harus menundukkannya,
memakmurkannya, dan membangunnya serta melahirkan keturunan yang baik di
dalamnya, sehingga mereka dapat mengubah kehidupan dan membuatnya lebih
baik. Hawa melahirkan dalam satu perut seorang lelaki dan seorang
perempuan, dan pada perut berikutnya seorang lelaki dan seorang
perempuan, maka dihalalkan perkawinan antara anak lelaki dari perut
pertama dengan anak perempuan dari perut kedua. Akhirnya, anak-anak Nabi
Adam menjadi besar dan menikah serta memenuhi bumi dengan keturunannya.
Nabi Adam mengajak mereka untuk
menyembah Allah SWT. Nabi Adam menyaksikan kecenderungan pertama dari
anaknya terhadap pangkal kejahatan, yaitu iblis sehingga terjadilah
kejahatan pembunuhan yang pertama kali di muka bumi. Salah seorang anak
Nabi Adam membunuh saudara kandungnya sendiri. Anak yang jahat itu
membunuh saudaranya yang baik. Allah berfirman:
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterimalah dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). (QS. al-Maidah: 27)
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterimalah dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). (QS. al-Maidah: 27)
Dikatakan bahwa pembunuh ingin merebut
istri saudara kandungannya untuk dirinya sendiri. Nabi Adam
memerintahkan mereka berdua untuk menghadirkan kurban lalu setiap dari
mereka menghadirkan kurban yang dimaksud. Allah SWT menerima kurban dari
salah satu dari mereka dan menolak kurban yang lain:
“Ia (Qabil) berkata: ‘Aku pasti membunuhmu.’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam. (QS. al-Maidah: 27-28)
“Ia (Qabil) berkata: ‘Aku pasti membunuhmu.’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam. (QS. al-Maidah: 27-28)
Perhatikanlah bagaimana Allah SWT
menyampaikan kepada kita kalimat-kalimat yang diucapkan oleh anak Nabi
Adam yang terbunuh sebagai syahid, dan ia menyembunyikan kalimat-kalimat
yang diucapkan oleh si pembunuh. Si pembunuh mengangkat tangannya
sambil mengancam, namun calon korban pembunuhan itu berkata dengan
tenang:
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali
dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan
menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi
orang-orang yang lalim. ” (QS. al-Maidah: 29)
Selesailah percakapan antara mereka
berdua dan anak yang jahat itu membiarkan anak yang baik beberapa saat.
Setelah beberapa hari, saudara yang baik itu tidur di tengah-tengah
hutan yang penuh dengan pohon. Di hutan itu, keledai tua mati dan
dagingnya dimakan oleh burung Nasar dan darahnya ditelan oleh bumi. Yang
tersisa hanya tulang belulang berserakan di tanah. Kemudian saudaranya
yang jahat membawanya menuju saudara kandungnya yang sedang tidur, lalu
ia mengangkat tangannya dan menjatuhkan dengan keras dan cepat. Anak
laki-laki baik itu tampak pucat wajahnya ketika melihat darah mengucur
darinya, lalu ia bangun. Ia bermimpi saat tidur. Lalu si pembunuh
menghantam saudaranya sehingga tidak tampak lagi gerakan dari tubuhnya.
Si pembunuh puas bahwa saudara kandungnya benar-benar mati. Pembunuh itu
berdiri di depan korban dengan tenang dan tampak pucat wajahnya.
Rasulullah saw bersabda: “Setiap orang
yang membunuh jiwa yang tak berdosa maka anak Adam yang pertama akan
juga menanggung dosanya karena ia yang pertama kali mengajarkan
pembunuhan.” Si pembunuh terduduk di depan saudaranya dalam keadaan
berlumuran darah. Apa yang akan dikatakannya terhadap Nabi Adam,
ayahnya, jika ia bertanya kepadanya tentang hal itu. Nabi Adam
mengetahui bahwa mereka berdua keluar bersama-sama lalu mengapa ia
kembali sendinan. Seandainya ia mengingkari pembunuhan terhadap
saudaranya itu di depan ayahnya, maka di manakah ia dapat menyembunyikan
jasadnya, dan di mana ia dapat membuangnya? Saudaranya yang terbunuh
itu merupakan manusia yang pertama kali mad di muka bumi sehingga tidak
diketahui bagaimana cara menguburkan orang yang mati. Pembunuh itu
membawa jasad saudara kandungnya dan memikulnya. Tiba-tiba keheningan
itu dipecah dengan suara burung yang berteriak sehingga ia merasa
ketakutan. Pembunuh itu menoleh dan menemukan seekor burung gagak yang
berteriak di atas bangkai burung gagak yang mati. Burung gagak yang
hidup meletakkan bangkai burung gagak yang mad di atas tanah lalu ia
mulai menggali tanah dengan paruhnya dan kedua kakinya. Kemudian ia
mengangkatnya dengan paruhnya dan meletakkannya dengan lembut dalam
kuburan. Lalu ia menimbunkannya di atas tanah. Setelah itu, ia terbang
di udara dan kembali berteriak. Si pembunuh berdiri dan ia mundur untuk
meraih jasad saudara kandungnya dan kemudian berteriak:
“Berkata Qabil: ‘Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan saudaraku ini?” (QS. al-Maidah: 31)
“Berkata Qabil: ‘Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan saudaraku ini?” (QS. al-Maidah: 31)
Ia mulai merasakan kesedihan yang sangat
dalam atas apa yang telah dilakukannya terhadap saudaranya. Ia segera
menyadari bahwa ia adalah orang yang paling buruk dan paling lemah. Ia
telah membunuh orang yang paling utama dan paling kuat. Anak Nabi Adam
berkurang satu dan iblis berhasil “mencuri” seorang anak Nabi Adam.
Bergetarlah tubuh si pembunuh dan ia mulai menangis dengan keras, lalu
ia menggali kuburan saudara kandungnya. Ketika mendengar kisah tersebut
Nabi Adam berkata:
“Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata.” (QS. al-Qashash: 15)
Nabi Adam merasakan kesedihan mendalam
atas hilangnya salah satu anaknya. Salah seorang dari mereka mad dan
yang lain dikuasai oleh setan. Nabi Adam salat untuk anaknya yang mati,
dan kemudian ia kembali menjalani kehidupannya di muka bumi. Beliau
adalah manusia yang bekerja dan mengalami penderitaan. Seorang Nabi yang
menasihati anak-anaknya dan cucu-cucunya, serta mengajak mereka untuk
menyembah Allah SWT. Beliau menceritakan kejahatan iblis kepada mereka,
dan meminta kepada mereka agar berhati-hati darinya. Beliau menceritakan
pengalaman pribadinya bersama iblis kepada mereka, dan menceritakan
kehidupannya bersama anaknya yang tega membunuh saudara kandungnya
sendiri.
Nabi Adam telah menjadi dewasa, lalu
tahun demi tahun datang silih berganti sehingga anak-anaknya tersebar di
bumi, lalu datanglah waktu malam di atas bumi. Angin bertiup sangat
kencang. Dan bergoncanglah daun-daun pohon tua yang ditanam oleh Nabi
Adam, di mana dahan-dahannya mendekati danau sehingga buahnya menyentuh
air danau. Dan ketika pohon itu menjadi tegak setelah berlalunya angin,
air mulai berjatuhan di antara cabang-cabangnya dan tampak dari jauh
bahwa pohon itu sedang menarik dirinya (memisahkan diri) dari air dan
menangis. Pohon itu sedih dan dahan-dahannya berguncang. Sementara itu,
di langit tampak bahwa bintang-bintang juga berguncang. Cahaya bulan
menerobos kamar Nabi Adam sehingga cahaya itu menerpa wajah Nabi Adam.
Wajah Nabi Adam tampak lebih pucat dan lebih muram dari wajah bulan.
Bulan mengetahui bahwa Nabi Adam akan mati.
Kamar yang sederhana, kamarnya Nabi
Adam. Nabi Adam tertidur dengan jenggotnya yang putih dan wajahnya yang
bersinar di atas tempat ddur dari dahan-dahan pohon dan bunga-bunga.
Anak-anaknya semua berdiri di sekelilingnya dan menunggu wasiatnya. Nabi
Adam berbicara dan memahamkan anak-anaknya bahwa hanya ada satu perahu
keselamatan bagi manusia, dan hanya ada satu senjata baginya yang dapat
menenangkannya. Perahu itu adalah petunjuk Allah SWT dan senjata itu
adalah kalimat-kalimat Allah SWT.
Nabi Adam menenangkan anak-anaknya,
bahwa Allah SWT tidak akan membiarkan manusia sendirian di muka bumi.
Sesungguhnya Dia akan mengutus para nabi untuk membimbing mereka dan
menyelamatkan mereka. Para nabi itu memiliki nama-nama, sifat-sifat, dan
mukjizat-mukjizat yang berbeda-beda. Tetapi mereka dipertemukan dengan
satu hal, yaitu mengajak untuk menyembah Allah SWT semata.
Demikianlah wasiat Nabi Adam kepada
anak-anaknya. Akhirnya, Nabi Adam menutup kedua matanya, dan para
malaikat memasuki kamarnya dan mengelilinginya. Had Nabi Adam tersenyum
ketika mendapatkan kata salam yang dalam, dan rohnya mencium bau bunga
surga.