Banyak orang di zaman kita beranggapan
bahwa agama hanya merupakan program-program yang kosong dan nilai-nilai
akhlak semata. Ini adalah keyakinan klasik dan salah. Pada hakikatnya,
agama adalah sistem dalam kehidupan dan pergaulan. Intinya ialah
hubungan dengan Allah SWT. Oleh karena itu, usaha memisahkan antara
problem-problem tauhid dan perilaku manusia dalam kehidupan mereka
sehari-hari berarti memisahkan agama dari kehidupan dan mengubahnya
menjadi adat-istiadat, tradis-tradisi, dan acara-acara ritual yang
hampa. Kisah Nabi Syu’aib menampakkan hal yang demikian secara jelas.
Allah SWT mengutus Syu’aib pada penduduk Madyan:
“Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara mereka, Syu ‘aib. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.’” (QS. Hud: 84)
“Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara mereka, Syu ‘aib. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.’” (QS. Hud: 84)
Ini adalah dakwah yang sama yang
diserukan oleh setiap nabi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara
satu nabi dan nabi yang lain. Ia merupakan dasar akidah dan tanpa dasar
ini mustahil suatu bangunan akan berdiri. Setelah peletakan bangunan
tersebut, Syu’aib mulai menyuarakan dakwahnya:
“Dan janganlah kamu kurangi takaran dan
timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu)
dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang
membinasakan (kiamat).” (QS. Hud: 84)
Setelah menjelaskan masalah tauhid
secara langsung, Nabi Syu’aib berpindah pada masalah muamalah
sehari-hari yang berkenaan dengan kejujuran dan keadilan. Adalah hal
yang terkenal pada penduduk Madyan bahwa mereka mengurangi timbangan dan
mereka tidak memberikan hak-hak manusia. Ini adalah suatu kehinaan yang
menyentuh kesucian hati dan tangan sebagaimana menyentuh kesempurnaan
harga diri dan kemuliaan.
Para penduduk Madyan beranggapan bahwa
mengurangi timbangan adalah salah satu bentuk kelihaian dan kepandaian
dalam jual-beli serta bentuk kelicikan dalam mengambil dan membeli.
Kemudian nabi mereka datang dan mengingatkan bahwa hal tersebut
merupakan hal yang hina dan termasuk pencurian. Nabi Syu’aib
memberitahukan kepada mereka bahwa beliau khawatir jika mereka
meneruskan perbuatan keji itu niscaya akan turun kepada mereka azab di
mana manusia tidak akan dapat menghindar dari siksaan itu. Perhatikanlah
bagaimana campur tangan Islam melalui Nabi Syu’aib yang diutus kepada
manusia di mana ia memperhatikan persoalan jual-beli dan mengawasinya:
“Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan
timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap
hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan
membuat kerusakan.” (QS. Hud: 85)
Nabi Syu’aib meneruskan misi dakwahnya.
Beliau mengulang-ulangi nasihatnya kepada mereka dengan cara yang baik
dan mengajak ke jalan yang baik, tidak ke jalan yang buruk; beliau
menghimbau kepada mereka untuk menegakkan timbangan dengan keadilan dan
kebenaran dan mengingatkan mereka agar jangan merampas hak-hak orang
lain. Merampas hak-hak orang lain itu tidak terbatas pada jual-beli
saja, namun juga berhubungan dengan perbuatan-perbuatan lainnya; beliau
memerintahkan mereka untuk menegakkan timbangan keadilan dan kejujuran.
Demikianlah seruan dari agama tauhid dan akidah tauhid di mana ia selalu
menyuarakan kejujuran dan keadilan.
Agama selalu memerintahkan manusia untuk
menjalin kerjasama sesama mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan
cara-cara yang bijaksana dan baik, baik menyangkut hubungan kerja,
hubungan pribadi maupun hubungan lainnya. Al-Qur’an al-Karim mengatakan:
“Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka. “Dan
kata as-Syai’ (sesuatu) dalam ayat tersebut diucapkan kepada hal-hal
yang bersifat materi dan yang bersifat non-materi (rohani) di mana masuk
dalam katagori itu perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan yang
menghasilkan. Al-Qur’an melarang segala bentuk kelaliman, baik kelaliman
berkenaan dengan menimbang buah-buahan atau sayur-sayuran maupun
kelaliman dalam bentuk tidak memberikan penghargaan terhadap usaha
manusia dan pekerjaan mereka. Sebab, kelaliman terhadap manusia akan
menciptakan suasana ketidakharmonisan yang berakibat pada timbulnya
penderitaan, sikap putus asa, dan sikap tidak peduli, sehingga pada
akhirnya hubungan sesama manusia berjalan tidak harmonis dan menimbulkan
kegoncangan dalam kehidupan. Oleh katrena itu, Al-Qur’an mengingatkan
agar jangan sampai ada manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi:
“Dan janganlah kamu membuat kejahatan di
muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dart Allah adalah
lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah
seorangpenjaga atas dirimu.” (QS. Hud: 85-86)
Yang dimaksud al-’Atsu ialah sengaja
membuat kerusakan dan bertujuan untuk membuat kerusakan. Janganlah
kalian membuat kerusakan di muka bumi; janganlah kalian sengaja untuk
menciptakan keonaran di muka bumi. Apa yang ada di sisi Allah SWT adalah
hal yang terbaik buat kalian jika kalian benar-benar beriman. Kemudian
Nabi Syu’aib memberitahu kepada mereka bahwa ia tidak memiki sesuatu
kepada mereka; ia tidak dapat menguasai mereka tidak juga ia selalu
mengawasi mereka. Beliau hanya sekadar seorang rasul atau utusan untuk
menyampaikan ajaran Tuhannya:
“Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu. ” (QS. Hud: 86)
Dengan cara yang demikian, Nabi Syu’aib
menjelaskan kaumnya bahwa masalah yang mereka hadapi saat ini sangat
penting dan sangat serius, bahkan sangat berat. Beliau memberitahu
mereka akibat yang bakal mereka terima jika mereka membuat kerusakan.
Selesailah bagian pertama dari dialog Nabi Syu’aib bersama kaumnya. Nabi
Syu’aib telah mengawali pembicaraan dan kaumnya mendengarkan. Kemudian
beliau berhenti dari pembicaraannya dan sekarang kaum membuka
pembicaraan:
“Mereka berkata: ‘Hai Syu’aib, apakah
agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh
bapak-bapak kami atau melarang hand berbuat apa yang kami kehendaki
tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun
lagi berakal ” (QS. Hud: 87)
Para penduduk Madyan yang kafir mereka
biasa merampok dan menyembah al-Aikah, yaitu pohon dari al-Aik yang
dikelilingi oleh dahan-dahan yang berputar di sekelilingnya. Mereka
termasuk orang-orang yang menjalin hubungan sesama manusia dengan
cara-cara yang sangat keji. Mereka suka mengurangi timbangan; mereka
mengambil yang lebih darinya dan tidak menghiraukan kekurangannya.
Perhatikanlah semua itu dalam dialog mereka bersama Syu’aib. Mereka
berkata, “wahai Syu’aib apakah agamamu yang memerintahkanmu…?”
Seakan-akan agama ini mendorong Syu’aib dan membisikinya serta
memerintahnya sehingga ia menaati tanpa pertimbangan dan pemikiran.
Sungguh Syu’aib telah berubah dengan agamanya itu menjadi alat yang
bergerak dan alat yang tidak sadar. Demikianlah celaaan dan tuduhan keji
yang dialamatkan oleh kaum Nabi Syu’aib kepadanya. Agama Syu’aib telah
membuatnya gila dan membuatnya nekat untuk memerintahkan mereka
meninggalkan apa yang selama ini mereka sembah dan disembah oleh
kakek-kakek mereka. Kakek-kakek mereka telah menyembah tumbuh-tumbuhan
dan pohon-pohonan sementara agama Syu’aib memerintahkan mereka untuk
hanya menyembah Allah SWT. Kenekatan model apa dari Syu’aib ini?
Dengan ejekan dan penghinaan ini, Nabi
Syu’aib menghadapi dialog yang terjadi dengan mereka. Kemudian mereka
kembali bertanya-tanya dengan penuh keheranan dan dengan nada mengejek:
“Apakah agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami.” Tidakkah engkau sadar wahai Syu’aib bahwa
agamamu ingin mencampuri keinginan kita dan cara kita menggunakan harta
kita? Apakah hubungan keimanan dan salat dengan muamalah materi?
Dengan pertanyaan ini, kaum Nabi Syu’aib
mengira bahwa mereka mencapai suatu tingkat kecerdasan. Mereka
mengemukakan di hadapannya problem keimanan, dan mereka mengingkari
adanya keterkaitan antara perilaku manusia dan muamalah mereka serta
perekonomian mereka. Ini adalah masalah yang klasik; ini adalah usaha
untuk memisahkan antara ekonomi dan Islam di mana setiap nabi justru di
utus untuknya meskipun nama-nama mereka berbeda-beda; ini adalah masalah
kuno yang diungkap oleh kaum Nabi Syu’aib di mana mereka mengingkari
bahwa agama turut campur dalam kehidupan sehari-hari mereka,
perekonomian mereka dan cara mereka menggunakan harta mereka. Mereka
menganggap bahwa menginfakkan harta atau menggunakannya atau
menghambur-hamburkannya adalah suatu yang tidak berhubungan dengan
agama. Hal itu menyangkut kebebasan pribadi manusia. Bukankah itu
hartanya yang khusus lalu mengapa agama turut campur di dalamnya?
Demikianlah pemahaman kaum Nabi Syu’aib
kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Syu’aib. Kami kira pemahaman demikian
sedikit atau banyak tidak berbeda dengan pemahaman banyak masyarakat di
zaman kita sekarang mereka menganggap bahwasannya Islam tidak memiliki
kaitan dengan kehidupan pribadi manusia dan kehidupan perekonomian
mereka. Oleh karena itu, manusia dapat menggunakan harta mereka sesuai
dengan kemauan mereka: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat
penyantun lagi berakal.”
Mereka ingin mengatakan kepada Nabi
Syu’aib, seandainya engkau seorang yang bijaksana dan memiliki pemikiran
yang matang niscaya engkau tidak akan mengatakan apa yang telah engkau
katakan. Mereka kembali mengejek Nabi Syu’aib dan merendahkan dakwahnya.
Seandainya Anda bertanya kepada kaum Nabi Syu’aib tentang pemahaman
agama mereka maka mereka pasti mengingkari bahwa agama adalah sebagai
sistem dalam kehidupan yang menjadikan hidup lebih mulia, lebih suci,
lebih adil dan lebih pantas manusia untuk menjabat sebagai khalifatullah
di muka bumi; seandainya Anda bertanya kepada mereka tentang agama
niscaya mereka memberitahumu bahwa ia hanya berupa kumpulan nilai-nilai
rohani yang baik yang tidak mewarnai kehidupan sehari-hari. Dengan
pemahaman seperti ini, agama hanya sekadar hiasan. Ini adalah pemahaman
yang menggelikan karena Allah SWT mengutus para nabi dan ajaran-ajaran
yang mereka bawa bukan untuk perhiasan dan main-mainan. Maha Suci Allah
SWT dari semua itu. Allah SWT mengutus para nabi-Nya dengan membawa
sistem baru dalam kehidupan, yaitu sistem yang mencakup nilai-nilai dan
pemikiran-pemikiran yang itu semua tidak akan bermakna jika tidak
berubah menjadi suatu sistem dalam kehidupan secara umum dan mengatur
kehidupan secara khusus. Dengan pemahaman seperti inilah agama menjadi
mulai dan agama menjadi benar adanya. Dan dengan asumsi seperti ini,
kita memahami seberapa jauh campur tangan agama dalam
persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari: dimulai dari
hubungan-hubungan cinta sampai undang-undang perkawinan, bahkan cara
mengambil keputusan hidup sampai sistem dalam menginfakkan uang dan
menggunakannya, juga sistem dalam cara menggunakan dan mendistribusikan
kekayaan dan sebagainya. Jika manusia memahami agama seperti ini
makajadilah agama sesuatu kebenaran. Dan kalau tidak, agama laksana
puing-puing saja.
Nabi Syu’aib mengetahui bahwa kaumnya
mengejeknya karena mereka menganggap agama tidak turut campur dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, beliau menghadapi semua itu dengan penuh
kelembutan dan kasih sayang karena beliau yakin apa yang beliau bawa
adalah kebenaran. Beliau tidak peduli dengan ejekan mereka dan tidak
tersinggung dengannya dan tidak mempersoalkan hal itu; beliau memberi
pengertian kepada mereka bahwa beliau berada di atas kebenaran dari
Tuhannya; beliau adalah seorang nabi yang mengetahui kebenaran; beliau
tidak melarang mereka untuk meninggalkan sesuatu yang di balik larangan
itu mendatangkan keuntungan pribadi buatnya; beliau tidak ingin
menasihati mereka dalam kejujuran agar pasar menjadi sepi dan karenanya
beliau mengambil manfaat; beliau hanya sekadar seorang nabi di mana
dakwah setiap nabi tergambar dalam ungkapan yang singkat:
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. ” (QS. Hud: 88)
Yang beliau inginkan hanya al-Islah
(usaha membuat perbaikan). Demikanlah kandungan dan inti dakwah para
nabi yang sebenarnya. Mereka adalah al-Muslihun, yaitu orang-orang yang
membuat perbaikan; mereka memperbaiki akal, memperbaiki hati dan
memperbaiki kehidupan yang umum dan kehidupan yang khusus:
“Syu’aib berkata: ‘Hai kaumku, bagaimana
pikiranku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan
dianugerahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi
perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan
mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali
(mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah
bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.’” (QS. Hud: 88)
Setelah Nabi Syu’aib menjelaskan
tujuan-tujuannya kepada mereka dan menyingkapkan kebenaran dakwahnya,
beliau mulai mengotak-atik akal-akal rnereka; beliau mengungkapkan
kepada mereka bagaimana pergulatan orang-orang sebelum mereka dengan
para nabi sebelumnya, yaitu kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi
Saleh, dan kaum Nabi Luth yang masa mereka ddak jauh dengan masa Nabi
Syu’aib. Beliau mulai berdialog dengan mereka dan mengingatkan mereka
bahwa sikap penentangan mereka justru akan mendatangkan siksaan bagi
mereka. Nabi Syu’aib mengingatkan mereka bagaimana nasib orang-orang
yang mendustakan kebenaran:
“Hai kaumku, janganlah hendaknya
pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat
hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpah kaum Nuh atau kaum Hud
atau kaum Saleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari
kamu. Dan mohonlah ampun dari Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya,
sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. ” (QS. Hud:
89-90)
Usai Nabi Syu’aib berdakwah kepada Allah
SWT dan menjelaskan al-ishlah (usaha memperbaiki masyarakat) dan
mengingatkan mereka bahaya penentangan serta menakut-nakuti mereka
dengan menceritakan kembali siksaan yang diterima orang-orang yang
berbohong sebelum mereka. Meskipun demikian, Nabi Syu’aib tetap
membukakan pintu pengampunan dan pintu taubat bagi mereka. Beliau
menunjukkan kepada mereka kasih sayang Tuhannya Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Namun kaum Nabi Syu’aib memilih azab. Kekerasan hati
mereka dan keinginan mereka untuk mendapatkan harta yang haram serta
rasa puas dengan sistem yang mengatur mereka, semua itu menyebabkan
mereka menolak kebenaran:
“Mereka berkata: ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.’” (QS. Hud: 91)
Kami tidak memahamimu. Engkau adalah seorang yang mengacau; engkau mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti:
“Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami.” (QS. Hud: 91)
Beliau dikatakan sebagai orang yang
lemah karena orang-orang fakir dan orang-orang yang rrienderita adalah
orang-orang yang beriman padanya, sedangkan orang-orang kaya dan para
pembesar telah menentang mereka. Demikianlah pertimbangan umumnya
manusia yang tidak memiliki kekuatan cukup untuk menghadapi kebenaran
dakwah Nabi Syu’aib di mana beliau dianggap sebagai orang yang lemah:
“Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami akan merajammu.”(QS. Hud: 91)
Seandainya kalau bukan karena keluargamu
dan kaummu dan orang-orang yang mengikutimu niscaya kami akan menggali
suatu lubang dan kami akan bunuh kamu dilubang itu dengan cara melempari
kamu dengan batu:
“Sedang kamu pun bukanlah seorangyang berwibawa di sisi kami.” (QS. Hud: 92)
Kaum Nabi Syu’aib berpindah dari cara
mengejek pada cara menyerang. Nabi Syu’aib telah menyampaikan bukti
kepada mereka setelah mereka mengejeknya, lalu mereka mengubah cara
mereka berdialog. Mereka memberitahunya bahwa mereka tidak memahami apa
yang beliau katakan dan mereka melihat bahwa Nabi Syu’aib sebagai orang
yang lemah dan hina. Dan seandainya kalau bukan karena mereka takut
(kasihan) kepada keluarganya niscaya mereka akan membunuhnya. Mereka
menampakkan kebencian kepada Nabi Syu’aib dan ingin sekali untuk
membunuhnya kalau bukan karena alasan-alasan yang berhubungan dengan
keluarganya. Menghadapi ancaman itu, Nabi Syu’aib tetap menunjukkan
sikap lembutnya lalu beliau bertanya kepada mereka dengan maksud untuk
menggugah kesekian kalinya akal mereka:
“Syu ‘aib menjawab: ‘Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah. ” (QS. Hud: 92)
Apakah cukup rasional jika mereka
membayangkan hal tersebut? Mereka melupakan hakikat kekuatan yang
mengatur alam. Sesungguhnya hanya Allah SWT Yang Maha Mulia dan Maha
Kuat. Seharusnya mereka mengingat hal itu; seharusnya seseorang tidak
takut kepada apapun selain Allah SWT dan tidak membandingkan kekuatan di
alam wujud ini dengan kekuatan Allah SWT. Hanya Allah SWT Yang Kuat dan
hanya Dia yang mengatur hamba-hamba-Nya.
Tampak bahwa kaum Nabi Syu’aib mulai kesal dan semakin kesal dengannya, lalu berkumpullah para pembesar kaumnya:
“Pemuka-pemuka dari kaum Syu ‘aib yang
menyombongkan diri berkata: ‘Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai
Syu’aib dan dengan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami,
kecuali kamu kembali kepada agama kami.’” (QS. al-A’raf: 88)
Mereka menggunakan tahap baru dengan
cara mengancam Nabi Syu’aib; mereka mengancamnya untuk membunuh dan
mengusir dari desa mereka; mereka memberi pilihan kepada Nabi Syu’aib
antara terusir dan kembali kepada agama mereka yang menyembah
pohon-pohon dan benda-benda mati. Nabi Syu’aib memberitahu kepada mereka
bahwa masalah kembalinya ia ke agama mereka adalah masalah yang tidak
berhubungan dengan masalah-masalah yang disebutkan dalam perjanjian.
Sungguh Allah SWT telah menyelamatkan beliau dari agama mereka lalu
bagaimana beliau kembali lagi padanya? Beliau yang mengajak mereka pada
agama tauhid lalu bagaimana beliau mengajak mereka untuk kembali pada
kesyirikan dan kekufuran? Beliau mengajak mereka dengan cara yang lembut
dan kasih sayang sementara mereka mengancamnya dengan kekuatan.
Demikianlah pertentangan antara Nabi
Syu’aib dan kaumnya semakin berlanjut. Nabi Syu’aib memegang amanat
dakwah untuk menghadapi para pembesar, para pendusta, dan para penguasa
kaumnya. Akhirnya, Nabi Syu’aib mulai mengetahui bahwa mereka tidak lagi
memiliki harapan karena mereka telah berpaling dari Allah SWT:
“Sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang
terbuang di belakangmu? Sesungguhnya pengetahuan Tuhanku meliputi apa
yang kamu kerjakan. Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, berbuatlah menurut
kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan
mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa
yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan). Sesungguhnya aku pun
menunggu bersama kamu.” (QS. Hud: 92-93)
Nabi Syu’aib berlepas diri dari mereka.
Mereka telah berpaling dari agama Allah SWT bahkan telah mendustakan
nabi-Nya dan menuduhnya bahwa ia tersihir dan seorang pembohong. Maka,
setiap orang hendaklah melakukan apa saja yang diinginkannya dan
hendaklah mereka menunggu azab Allah SWT. Kemudian pergulatan antara
Nabi Syu’aib dan kaumnya berakhir adanya fase baru. Mereka meminta
kepada Nabi Syu’aib untuk mendatangkan azab dari langit jika beliau
termasuk orang-orang yang benar. Dengan nada mencibir dan menantang,
mereka berkata: “di mana azab itu, di mana siksaan yang dijanjikan itu?
Mengapa terlambat datang?”
Mereka mengejek Nabi Syu’aib dan beliau
dengan tenang menunggu datangnya azab Allah SWT. Allah SWT mewahyukan
kepada beliau agar keluar bersama orang-orang mukmin dari desa tersebut.
Akhirnya, Nabi Syu’aib keluar bersama para pengikutnya dan datanglah
azab Allah SWT:
“Dan takkala datang azab Kami. Kami
selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia
dengan rahmat dari kami, dan orang-orang lalim dibinasakan oleh satu
suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di
rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu.
Ingatlah, kebinasaan bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah
binasa.” (QS. Hud: 94-95)
Ia adalah teriakan sekali saja satu
suara yang datang kepada mereka dari celah-celah awan yang menyelimuti.
Mula-mula mereka barangkali bergembira karena membayangkan itu akan
membawa hujan tetapi mereka dikagetkan ketika datang kepada mereka
siksaan yang besar pada hari yang besar.
Selesailah masalah ini. Mereka menyadari
bahwa teriakan itu membawa bencana buat mereka; teriakan itu
menghanguskan setiap makhluk yang ada di dalam negeri itu. Mereka tidak
mampu bergerak dan tidak mampu menyembunyikan diri dan tidak pula mereka
dapat menyelamatkan diri mereka.