Nabi Ibrahim as mendapatkan tempat
khusus di sisi Allah SWT. Ibrahim termasuk salah satu nabi ulul azmi di
antara lima nabi di mana Allah SWT mengambil dari mereka satu
perjanjian yang berat. Kelima nabi itu adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw—sesuai dengan urutan
diutusnya mereka. Ibrahim adalah seorang nabi yang diuji oleh Allah SWT
dengan ujian yang jelas. Yaitu ujian di atas kemampuan manusia biasa.
Meskipun menghadapi ujian dan tantangan yang berat, Nabi Ibrahim tetap
menunjukkan sebagai seorang hamba yang menepati janjinya dan selalu
menunjukan sikap terpuji. Allah SWT berfirman:
“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. ” (QS. an-Najm: 37)
Allah SWT menghormati Ibrahim dengan
penghormatan yang khusus. Allah SWT menjadikan agamanya sebagai agama
tauhid yang murni dan suci dari berbagai kotoran, dan Dia menjadikan
akal sebagai alat penting dalam menilai kebenaran bagi orang-orang yang
mengikuti agama-Nya. Allah SWT berfirman:
“Dan tidak ada yang bend kepada agama
Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri dan sungguh
Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya Dia di akhirat
benar-benar termasuk orang yang saleh.” (QS. al-Baqarah: 130)
Allah SWT memuji Ibrahim dalam flrman-Nya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang
imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif.
Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
(Tuhan). ” (QS. an-Nahl: 120)
Termasuk keutamaan Allah SWT yang
diberikan-Nya kepada Ibrahim adalah, Dia menjadikannya sebagai imam
bagi manusia dan menganugrahkan pada keturunannya kenabian dan
penerimaan kitab (wahyu). Oleh karena itu, kita dapati bahwa setiap
nabi setelah Nabi Ibrahim as adalah anak-anak dan cucu-cucunya. Ini
semua merupakan bukti janji Allah SWT kepadanya, di mana Dia tidak
mengutus seorang nabi kecuali datang dari keturunannya. Demikian juga
kedatangan nabi yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw, adalah sebagai
wujud dari terkabulnya doa Nabi Ibrahim yang diucapkannya kepada Allah
SWT di mana ia meminta agar diutus di tengah-tengah kaum yang umi
seorang rasul dari mereka. Ketika kita membahas keutamaan Nabi Ibrahim
dan penghormatan yang Allah SWT berikan kepadanya, niscaya kita akan
mendapatkan hal-hal yang menakjubkan.
Kita di hadapan seorang manusia dengan
hati yang suci. Manusia yang ketika diperintahkan untuk menyerahkan
diri ia pun segera berkata, bahwa aku telah menyerahkan diriku kepada
Pengatur alam semesta. Ia adalah seorang Nabi yang pertama kali menama
kan kita sebagai al-Muslimin (orang-orang yang menyerahkan diri).
Seorang Nabi yang doanya terkabul dengan diutusnya Muhammad bin
Abdillah saw. la adalah seorang Nabi yang merupakan kakek dan ayah dari
pada nabi yang datang setelahnya. Ia seorang Nabi yang lembut yang
penuh cinta kasih kepada manusia dan selalu kembali kepada jalan
kebenaran. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (QS. Hud: 75)
“(Yaitu): Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (QS. as-Shaffat: 109)
Demikianlah Allah SWT sebagai Pencipta
memperkenalkan hamba-Nya Ibrahim. Tidak kita temukan dalam kitab Allah
SWT penyebutan seorang nabi yang Allah SWT angkat sebagai kekasih-Nya
kecuali Ibrahim. Hanya ia yang Allah SWT khususkan dengan firman-Nya:
“Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. an-Nisa’: 125)
Para ulama berkata bahwa al-Hullah
adalah rasa cinta yang sangat. Demikianlah pengertian dari ayat
tersebut. Allah SWT mengangkat Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Ini
merupakan suatu kedudukan yang mulia dan sangat tinggi. Di hadapan
kedudukan yang tinggi ini, Ibrahim duduk dan merenung: aku telah
memperoleh dan apa yang aku peroleh. Hati apakah yang ada di dalam diri
Nabi Ibrahim, rahmat apa yang diciptakan, dan kemuliaan apa yang
dibentuk, dan cinta apa yang diberikan. Sesungguhnya puncak harapan
para pejalan rohani dan tujuan akhir para sufi adalah “merebut” cinta
Allah SWT. Bukankah setiap orang membayangkan dan mengangan-angankan
untuk mendapatkan cinta dari Allah SWT? Demikianlah harapan setiap
manusia.
Nabi Ibrahim adalah seorang harnba
Allah SWT yang berhak diangkat-Nya menjadi al-Khalil (kekasih Allah
SWT). Itu adalah derajat dari derajat-derajat kenabian yang kita tidak
mengetahui nilainya. Kita juga tidak mengetahui bagaimana kita
menyifatinya. Berapa banyak pernyataan-pernyataan manusia berkaitan
dengan hal tersebut, namun rasa-rasanya ia laksana penjara yang justru
menggelapkannya. Kita di hadapan karunia Ilahi yang besar yang
terpancar dari cahaya langit dan bumi. Adalah hal yang sangat
mengagumkan bahwa setiap kali Nabi Ibrahim mendapatkan ujian dan
kepedihan, beliau justru menciptakan permata. Adalah hal yang sangat
mengherankan bahwa hati yang suci ini justru menjadi matang sejak usia
dini.
Al-Qur’an al-Karim tidak menceritakan
tentang proses kelahirannya dan masa kecilnya. Kita mengetahui bahwa di
masa Nabi Ibrahim manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama menyembah patung-patung yang terbuat dari kayu dan batu.
Kelompok kedua menyembah bintang dan bulan dan kelompok ketiga
menyembah raja-raja atau penguasa. Cahaya akal saat itu padam sehingga
kegelapan memenuhi segala penjuru bumi. Akhirnya, kehausan bumi untuk
mendapatkan rahmat dan kelaparannya terhadap kebenaran pun semakin
meningkat. Dalam suasana yang demikianlah Nabi Ibrahim dilahirkan. Ia
dilahirkan dari keluarga yang mempunyai keahlian membuat patung atau
berhala. Disebutkan bahwa ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan
kemudian ia diasuh oleh pamannya di mana pamannya itu menduduki
kedudukan ayahnya. Nabi Ibrahim pun memanggil dengan sebutan-sebutan
yang biasa ditujukan kepada seorang ayah. Ada juga ada yang mengatakan
bahwa ayahnya tidak meninggal dan Azar adalah benar-benar ayahnya. Ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa Azar adalah nama salah satu patung
yang cukup terkenal yang dibuat oleh ayahnya. Alhasil, Ibrahim berasal
dari keluarga semacam ini.
Kepala keluarga Ibrahim adalah salah
seorang seniman yang terbiasa memahat patung-patung sehingga profesi si
ayah mendapatkan kedudukan istimewa di tengah-tengah kaumnya. Keluarga
Nabi Ibrahim sangat dihormati. Dalam bahasa kita saat ini bisa saja ia
disebut dengan keluarga aristokrat. Dari keluarga semacam ini lahir
seorang anak yang mampu menentang penyimpangan dari keluarganya
sendiri, dan menentang sistem masyarakat yang rusak serta melawan
berbagai macam ramalan para dukun, dan menentang penyembahan berhala
dan bintang, serta segala bentuk kesyirikan. Akhirnya, beliau
mendapatkan ujian berat saat beliau dimasukkan ke dalam api dalam
keadaan hidup-hidup. Kita tidak ingin mendahului peristiwa tersebut.
Kami ingin memulai kisah Nabi Ibrahim sejak masa kecilnya. Nabi Ibrahim
adalah seseorang yang akalnya cemerlang sejak beliau berusia muda.
Allah SWT menghidupkan hatinya dan akalnya dan memberinya hikmah sejak
masa kecilnya.
Nabi Ibrahim mengetahui saat beliau masih kecil bahwa ayahnya seseorang yang membuat patung-patung yang unik.[1]
Pada suatu hari, ia bertanya terhadap ciptaan ayahnya kemudian ayahnya
memberitahunya bahwa itu adalah patung-patung dari tuhan-tuhan. Nabi
Ibrahim sangat keheranan melihat hal tersebut, kemudian timbul dalam
dirinya—melalui akal sehatnya—penolakan terhadapnya. Uniknya, Nabi
Ibrahim justru bermain-main dengan patung itu saat ia masih kecil,
bahkan terkadang ia menunggangi punggung patung-patung itu seperti
orang-orang yang biasa menunggang keledai dan binatang tunggangan
lainya. Pada suatu hari, ayahnya melihatnya saat menunggang punggung
patung yang bernama Mardukh. Saat itu juga ayahnya marah dan
memerintahkan anaknya agar tidak bermain-main dengan patung itu lagi.
Ibrahim bertanya: “Patung apakah ini
wahai ayahku? Kedua telinganya besar, lebih besar dari telinga kita.”
Ayahnya menjawab: “Itu adalah Mardukh, tuhan para tuhan wahai anakku,
dan kedua telinga yang besar itu sebagai simbol dari kecerdasan yang
luar biasa.” Ibrahim tampak tertawa dalam dirinya padahal saat itu
beliau baru menginjak usia tujuh tahun.
Injil Barnabas melalui lisan Nabi Isa
menceritakan kepada kita, bahwa Nabi Ibrahim mengejek ayahnya saat
beliau masih kecil. Suatu hari, Ibrahim bertanya kepada ayahnya: “Siapa
yang menciptakan manusia wahai ayahku?” Si ayah menjawab: “Manusia,
karena akulah yang membuatmu dan ayahku yang membuat aku.” Ibrahim
justru menjawab: “Tidak demikian wahai ayahku, karena aku pernah
mendengar seseorang yang sudah tua yang berkata: “Wahai Tuhanku mengapa
Engkau tidak memberi aku anak.”
Si ayah berkata: “Benar wahai anakku,
Allah yang membantu manusia untuk membuat manusia namun Dia tidak
meletakkan tangan-Nya di dalamnya. Oleh karena itu, manusia harus
menunjukkan kerendahan di hadapan Tuhannya dan memberikan kurban
untuk-Nya.” Kemudian Ibrahim bertanya lagi: “Berapa banyak tuhan-tuhan
itu wahai ayahku?” Si ayah menjawab: “Tidak ada jumlahnya wahai
anakku.” Ibrahim berkata: “Apa yang aku lakukan wahai ayahku jika aku
mengabdi pada satu tuhan lalu tuhan yang lain membenciku karena aku
tidak mengabdi pada-Nya? Bagaimana terjadi persaingan dan pertentangan
di antara tuhan? Bagaimana seandainya tuhan yang membenciku itu
membunuh tuhanku? Boleh jadi ia membunuhku juga.”
Si ayah menjawab dengan tertawa: “Kamu
tidak perlu takut wahai anakku, karena tidak ada permusuhan di antara
sesama tuhan. Di dalam tempat penyembahan yang besar terdapat ribuan
tuhan dan sampai sekarang telah berlangsung tujuh puluh tahun. Meskipun
demikian, belum pernah kita mendengar satu tuhan memukul tuhan yang
lain.” Ibrahim berkata: “Kalau begitu terdapat suasana harmonis dan
kedamaian di antara mereka.”Si ayah menjawab: “Benar.”
Ibrahim bertanya lagi: “Dari apa
tuhan-tuhan itu diciptakan? Orang tua itu menjawab: “Ini dari kayu-kayu
pelepah kurma, itu dari zaitun, dan berhala kecil itu dari gading.
Lihatlah alangkah indahnya. Hanya saja, ia tidak memiliki nafas.”
Ibrahim berkata: “Jika para tuhan tidak memiliki nafas, maka bagaimana
mereka dapat memberikan nafas? Bila mereka tidak memiliki kehidupan
bagiamana mereka memberikan kehidupan? Wahai ayahku, pasti mereka bukan
Allah.” Mendengar ucapan Ibrahim itu, sang ayah menjadi berang dan
marah sambil berkata: “Seandainya engkau sudah dewasa niscaya aku pukul
dengan kapak ini.”
Ibrahim berkata: “Wahai ayahku, jika
para tuhan mambantu dalam penciptaan manusia, maka bagaimana mungkin
manusia menciptakan tuhan? Jika para tuhan diciptakan dari kayu, maka
membakar kayu merupakan kesalahan besar, tetapi katakanlah wahai
ayahku, bagaimana engkau menciptakan tuhan-tuhan dan membuat baginya
tuhan yang cukup baik, namun bagaimana tuhan-tuhan membantumu untuk
membuat anak-anak yang cukup banyak sehingga engkau menjadi orang yang
paling kuat di dunia?”
Selesailah dialog antara Ibrahim dan
ayahnya dengan terjadinya pemukulan oleh si ayah terhadap Ibrahim.
Kemudian berlalulah hari demi hari dan Ibrahim menjadi besar. Sejak
usia anak-anak, hati Ibrahim menanam rasa benci terhadap patung-patung
yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Ibrahim tidak habis mengerti,
bagaimana manusia yang berakal membuat patung-patung dengan tangannya
sendiri kemudian setelah itu ia sujud dan menyembah terhadap apa yang
dibuatnya.
Ibrahim memperhatikan bahwa
patung-patung tersebut tidak makan dan minum dan tidak mampu berbicara,
bahkan seandainya ada seseorang yang membaliknya ia tidak mampu
bangkit dan berdiri sebagaimana asalnya. Bagaimana manusia membayangkan
bahwa patung-patung tersebut dapat mendatangkan bahaya dan memberikan
manfaat? Pemikiran ini banyak merisaukan Ibrahim dalam tempo yang lama.
Apakah mungkin semua kaumnya bersalah sementara hanya ia yang benar?
Bukankah yang demikian ini sangat mengherankan?
Kaum Nabi Ibrahim mempunyai tempat
penyembahan yang besar yang dipenuhi berbagai macam berhala. Di
tengah-tengah tempat penyembahan itu terdapat mihrab yang diletakkan di
dalamnya patung-patung yang paling besar. Ibrahim mengunjungi tempat
itu bersama ayahnya saat ia masih kecil. Ibrahim memandang
berhala-berhala yang terbuat dari batu-batuan dan kayu itu dengan
pandangan yang menghinakan. Hal ini sangat mengherankan masyarakat
pada saat itu karena saat memasuki tempat penyembahan itu, mereka
menampakkan ketundukan dan kehormatan di hadapan patung-patung. Bahkan
mereka mengangis dan memohon berbagai macam hal. Seakan-akan
patung-patung itu mendengar apa yang mereka keluhkan dan bicarakan.
Mula-mula pemandangan tersebut membuat
Ibrahim tertawa kemudian lama-lama Ibrahim marah. Hal yang mengherankan
baginya bahwa manusia-manusia itu semuanya tertipu, dan yang semakin
memperumit masalah adalah, ayah Ibrahim ingin agar Ibrahim menjadi
dukun saat ia besar. Ayah Ibrahim tidak menginginkan apa-apa kecuali
agar Ibrahim memberikan penghormatan kepada patung-patuung itu, namun
ia selalu mendapati Ibrahim menentang dan meremehkan patung-patung itu.
Pada suatu hari Ibrahim bersama ayahnya
masuk di tempat penyembahan itu. Saat itu terjadi suatu pesta dan
perayaan di hadapan patung-patung, dan di tengah-tengah perayaan
tersebut terdapat seorang tokoh dukun yang memberikan pengarahan
tentang kehebatan tuhan berhala yang paling besar. Dengan suara yang
penuh penghayatan, dukun itu memohon kepada patung agar menyayangi
kaumnya dan memberi mereka rezeki. Tiba-tiba keheningan saat itu
dipecah oleh suara Ibrahim yang ditujukan kepada tokoh dukun itu: “Hai
tukang dukun, ia tidak akan pernah mendengarmu. Apakah engkau meyakini
bahwa ia mendengar?” Saat itu manusia mulai kaget. Mereka mencari dari
mana asal suara itu. Ternyata mereka mendapati bahwa suara itu suara
Ibrahim. Lalu tokoh dukun itu mulai menampakkan kerisauan dan
kemarahannya. Tiba-tiba si ayah berusaha menenangkan keadaan dan
mengatakan bahwa anaknya sakit dan tidak mengetahui apa yang dikatakan.
Lalu keduanya keluar dari tempat
penyembahan itu. Si ayah menemani Ibrahim menuju tempat tidurnya dan
berusaha menidurkannya dan meninggalkannya setelah itu. Namun, Ibrahim
tidak begitu saja mau tidur ketika beliau melihat kesesatan yang
menimpa manusia. Beliau pun segera bangkit dari tempat tidurnya. Beliau
bukan seorang yang sakit. Beliau merasa dihadapkan pada peristiwa yang
besar. Beliau menganggap mustahil bahwa patung-patung yang terbuat
dari kayu-kayu dan batu-batuan itu menjadi tuhan bagi kaumnya. Ibrahim
keluar dari rumahnya menuju ke gunung. Beliau berjalan sendirian di
tengah kegelapan. Beliau memilih salah satu gua di gunung, lalu beliau
rnenyandarkan punggungnya dalam keadaan duduk termenung. Beliau
memperhatikan langit. Beliau mulai bosan memandang bumi yang dipenuhi
dengan suasana jahiliyah yang bersandarkan kepada berhala.
Tidak lama setelah Nabi Ibrahim
memperhatikan langit kemudian beliau melihat-lihat berbagai bintang
yang disembah di bumi. Saat itu hati Nabi Ibrahim—sebagai pemuda yang
masih belia— merasakan kesedihan yang luar biasa. Lalu beliau melihat
apa yang di belakang bulan dan bintang. Hal itu sangat mengagumkannya.
Mengapa manusia justru menyembah ciptaan Tuhan? Bukankah semua itu
muncul dan tenggelam dengan izin-Nya. Nabi Ibrahim mengalami dialog
internal dalam dirinya. Allah SWT menceritakan keadaan ini dalam surah
al-An’am:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim
berkata kepada bapaknya Azar: ‘Pantaskah kamu menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan
kaummu dalam kesesatan yang nyata.’ Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan
di bumi, dan Kami (memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk
orang-orang yang yakin. Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah
bintang (lalu) dia berkata: ‘Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala bintang
itu tenggelam, dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.’”
(QS. al-An’am: 74-76)
Al-Qur’an tidak menceritakan kepada
kita peristiwa atau suasana yang dialami Ibrahim saat menyatakan
sikapnya dalam hal itu, tapi kita merasa dari konteks ayat tersebut
bahwa pengumuman ini terjadi di antara kaumnya. Dan tampak bahwa
kaumnya merasa puas dengan hal tersebut. Mereka mengira bahwa Ibrahim
menolak penyembahan berhala dan cenderung pada penyembahan bintang.
Kita ketahui bahwa di zaman Nabi Ibrahim manusia menjadi tiga bagian.
Sebagian mereka menyembah berhala sebagian lagi menyembah bintang, dan
sebagian yang lain menyembah para raja. Namun di saat pagi, Nabi
Ibrahim mengingatkan kaumnya dan membikin mereka terkejut di mana
bintang-bintang yang diyakininya kemarin kini telah tenggelam. Ibrahim
mengatakan bahwa ia tidak menyukai yang tenggelam. Allah SWT berfirman:
“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’” (QS. al-An’am: 76)
Ibrahim kembali merenung dan
memberitahukan kaumnya pada malam kedua bahwa bulan adalah tuhannnya.
Kaum Nabi Ibrahim tidak mengetahui atau tidak memiliki kapasitas logika
yang cukup atau kecerdasan yang cukup, bahwa sebenarnya Ibrahim ingin
menyadarkan dengan cara sangat lembut dan dan penuh cinta. Bagaimana
mereka menyembah tuhan yang terkadang tersembunyi dan terkadang muncul
atau terkadang terbit dan terkadang tenggelam. Mula-mula kaum Nabi
Ibrahim tidak mengetahui yang demikian itu. Pertama-tama Ibrahim
menyanjung bulan tetapi ternyata bulan seperti bintang yang lain, ia
pun muncul dan tenggelam: Allah SWT berfirman:
“Kemudian tatkala dia melihat sebuah
bulan terbit dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi setelah bulan itu
terbenam dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.’” (QS.
al-An’am: 77)
Kita perhatikan di sini bahwa beliau
berbicara dengan kaumnya tentang penolakan penyernbahan terhadap bulan.
Ibrahim berhasil “merobek” keyakinan terhadap penyernbahan bulan
dengan penuh kelembutan dan ketenangan. Bagaimana manusia menyembah
tuhan yang terkadang tersembunyi dan terkadang muncul. Sungguh, kata
Ibrahim, betapa aku membayangkan apa yang terjadi padaku jika Tuhan
tidak membimbingku. Nabi Ibrahim mengisyaratkan kepada mereka bahwa
beliau memiliki Tuhan, bukan seperti tuhan-tuhan yang mereka sembah.
Namun lagi-lagi mereka belum mampu menangkap isyarat Nabi Ibrahim.
Beliau pun kembali menggunakan argumentasi untuk menundukkan kelompok
pertama dari kaumnya, yaitu penyembah bintang. Allah SWT berfirman:
“Kemudian tatkala dia melihat matahari
terbit, dia berkata: ‘Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.’ Maka
tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: ‘Hai kaumkku, sesungguhnya
aku berlepas dirt dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.’” (QS. al-An’am: 78-79)
Ibrahim berdialog dengan penyembah
matahari. Beliau memberitahukan bahwa matahari adalah tuhannya karena
dia yang terbesar. Lagi-lagi Ibrahim memainkan peran yang penting dalam
rangka menggugah pikiran mereka. Para penyembah matahari tidak
mengetahui bahwa mereka menyembah makhluk. Jika mereka mengira bahwa
ia adalah besar, maka Allah SWT Maha Besar.
Setelah Ibrahim memberitahukan bahwa
matahari adalah tuhannya, beliau menunggu saat yang tepat sehingga
matahari itu tenggelam dan ternyata benar dia bagaikan
sembahan-sembahan yang lain yang suatu saat akan tenggelam. Setelah itu
Ibrahim memploklamirkan bahwa beliau terbebas dari penyernbahan
bintang.
Ibrahim mulai memandang dan memberikan
pengarahan kepada kaumnya bahwa di sana ada Pencipta langit dan bumi.
Argumentasi Ibrahim mampu memunculkan kebenaran, tetapi sebagaimana
biasa kebatilan tidak tunduk begitu saja. Mereka mulai menampakkan
taringnya dan mulai menggugat keberadaan dan kenekatan Ibrahim as.
Mereka mulai menentang Nabi Ibrahim dan mulai mendebatnya dan bahkan
mengancamnya. Allah SWT berfirman:
“Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia
berkata: “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal
sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut
kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan
dengan Allah, kecuali jika Tuhanku mengendaki sesuatu (dari malapetaka)
itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apahah kamu
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ? Bagaimana aku takut
kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah) padahal
kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang
Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk
mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih
berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui)?’”
(QS. al-An’am: 80-81)
Kita tidak mengetahui sampai sejauh
mana ketajaman pergulatan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya, dan
bagaimana cara mereka menakut-nakuti Nabi Ibrahim. Al-Qur’an tidak
menyinggung hal tersebut. Namun yang jelas, tempat mereka yang penuh
kebatilan itu mampu dilumpuhkan oleh Al-Qur’an. Dari cerita tersebut,
Al-Qur’an mengemukakan Nabi bahwa Ibrahim menggunakan logika seorang
yang berpikir sehat. Menghadapi berbagai tantangan dan ancaman dari
kaumnya, Nabi Ibrahim justru mendapatkan kedamaian dan tidak takut
kepada mereka. Allah SWT berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk. ” (QS. al-An’am: 82)
Allah SWT selalu memberikan hujah atau
argumentasi yang kuat kepada Nabi Ibrahim sehingga beliau mampu
menghadapi kaumnya. Allah SWT berfirman:
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami
berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa
yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui. ” (QS. al-An’am: 83)
Ibrahim didukung oleh Allah SWT dan
diperlihatkan kerajaan langit dan bumi. Demikianlah Nabi Ibrahim terus
melanjutkan penentangan pada penyembahan berhala. Tentu saat ini
pergulatan dan pertentangan antara beliau dan kaumnya semakin tajam dan
semakin meluas. Beban yang paling berat adalah saat beliau harus
berhadapan dengan ayahnya, di mana profesi si ayah dan rahasia
kedudukannya merupakan biang keladi dari segala penyembahan yang
diikuti mayoritas kaumnya. Nabi Ibrahim keluar untuk berdakwah kepada
kaumnya dengan berkata:
“Patung-patung apakah ini yang kamu
tekun beribadah kepadanya? Mereka menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak
Kami menyembahnya.” Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya kamu dan
bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab:
‘Apakah kamu datang kepada kami sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk
orang yang bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya tuhan kamu
adalah Tuhan langit dan burnt yang telah menciptakan-Nya; dan aku
termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian
itu.’” (QS. al-Anbiya’: 52-56)
Selesailah urusan. Mulailah terjadi
pergulatan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya. Tentu yang termasuk orang
yang paling menentang beliau dan marah kepada sikap beliau itu adalah
ayahnya dan pamannya yang mendidiknya laksana seorang ayah. Akhirnya,
si ayah dan si anak terlibat dalam pergulatan yang sengit di mana
kedua-duanya dipisahkan oleh prinsip-primsip yang berbeda. Si anak
bertengger di puncak kebenaran bersama Allah SWT sedangkan si ayah
berdiri bersama kebatilan. Si ayah berkata kepada anaknya: “Sungguh
besar ujianku kepadamu wahai Ibrahim. Engkau telah berkhianat kepadaku
dan bersikap tidak terpuji kepadaku.” Ibrahim menjawab:
“Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah
sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat
menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang
kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka
ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.
Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan, sesungguhnya setan itu
durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku
khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah,
maka kamu menjadi kawan bagi setan.’” (QS. Maryam: 42-45)
Sang ayah segera bangkit dan ia tak kuasa lagi untuk meledakkan amarahnya kepada Ibrahim:
“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku,
hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan aku
rajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (QS. Maryam: 46)
Jika engkau tidak berhenti dari
dakwahmu ini, sungguh aku akan merajammu. Aku akan membunuhmmu dengan
pukulan batu. Demikian balasan siapa pun yang menentang tuhan.
Keluarlah dari rumahku! Aku tidak ingin lagi melihatmu. Keluar!
Akhirnya, pertentangan itu membawa
akibat pengusiran Nabi Ibrahim dari rumahnya, dan beliau pun terancam
pembunuhan dan perajaman. Meskipun demikian, sikap Nabi Ibrahim tidak
pernah berubah. Beliau tetap menjadi anak yang baik dan Nabi yang
mulia. Beliau berdialog dengan ayahnya dengan menggunakan adab para
nabi dan etika para nabi. Ketika mendengar penghinaan, pengusiran, dan
ancaman pembunuhan dari ayahnya, beliau berkata dengan lembut:
“Semoga keselamatan dilimpahkan
hepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku, sesungguhnya
Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari
apa yang kamu sent selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku,
mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.’”
(QS. Maryam: 47-48)
Nabi Ibrahim pun keluar dari rumah
ayahnya. Beliau meninggalkan kaumnya dan sesembahan-sembahan selain
Allah SWT. Beliau menetapkan suatu urusan dalam dirinya, beliau
mengetahui bahwa di sana ada pesta besar yang diadakan di tepi sungai
di mana manusia-manusia berbondong-bondong menuju kesana. Beliau
menunggu sampai perayaan itu datang di mana saat itu kota menjadi
sunyi karena ditinggalkan oleh manusia yang hidup di dalamnya dan
mereka menuju ke tempat itu. Jalan-jalan yang menuju tempat penyembahan
menjadi sepi dan tempat penyembahan itu pun ditinggalkan oleh
penjaganya. Semua orang mengikuti pesta itu.
Dengan penuh hati-hati, Ibrahim
memasuki tempat penyembahan dengan membawa kapak yang tajam. Ibrahim
melihat patung-patung tuhan yang terukir dari batu-batu dan kayu-kayu.
Ibrahim pun melihat makanan yang diletakkan oleh manusia di depannya
sebagai hadiah dan nazar. Ibrahim mendekat pada patung-patung itu.
Kepada salah satu patung—dengan nada bercanda—ia berkata: “Makanan yang
ada di depanmu hai patung telah dingin. Mengapa engkau tidak
memakannya. Namun patung itu tetap membisu.” Ibrahim pun bertanya
kepada patung-patung lain di sekitarnya:
“Kemudian ia pergi dengan diam-diam
kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata” Mengapa kalian tidak
makan?” (QS. ash-Shaffat: 91)
Ibrahim mengejek patung-patung itu.
Ibrahim mengetahui bahwa patung itu memang tidak dapat memakannya.
Ibrahim bertanya kepada patung-patung itu:
“Mengapa kamu tidak menjawab?” (QS. ash-Shaffat: 92)
Ibrahim pun langsung mengangkat kapak
yang ada di tangannya dan mulai menghancurkan tuhan-tuhan yang palsu
yang disembah oleh manusia. Ibrahim menghancurkan seluruh patung-patung
itu dan hanya menyisakan satu patung, lalu beliau menggantungkan kapak
itu dilehernya. Setelah melaksanakan tugas itu, beliau pergi menuju ke
gunung. Beliau telah bersumpah untuk membawa suatu bukti yang jelas,
bahkan bukti praktis tentang kebodohan kaumnya dalam menyembah selain
Allah SWT.
Akhirnya, pesta perayaan itu selesai
dan manusia kembali ke tempat mereka masing-masing. Dan ketika salah
seorang masuk ke tempat sembahan itu ia pun berteriak. Manusia-manusia
datang menolongnya dan ingin mengetahui apa sebab di balik teriakan
itu. Dan mereka mengetahui bahwa tuhan-tuhan semuanya telah hancur yang
tersisa hanya satu. Mereka mulai berpikir siapa penyebab semua ini.
Akhirnya mereka pun mengetahui dan menyadari bahwa ini adalah ulah
Ibrahim yang telah mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT:
“Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”.” (QS. al-Anbiya’: 60)
Mereka segera mendatangi Ibrahim. Ketika Ibrahim datang mereka bertanya kepadanya:
“Mereka bertanya: “Apakah benar engkau yang melakukan semua ini terhadap tuhan kami wahai Ibrahim?” (QS. al-Anbiya’: 62)
Ibrahim membalas dengan senyuman lalu
ia menunjuk kepada tuhan yang paling besar yang tergantung di lehernya
sebuah kapak. “Tidak!”
“Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung
yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala
itu, jika mereka dapat berbicara”. ” (QS. al-Anbiya’: 63)
Para dukun berkata: “Siapa yang harus
kita tanya?” Ibrahim menjawab: “Tanyalah kepada tuhan kalian.” Kemudian
mereka berkata: “Bukankah engkau mengetahui bahwa tuhan-tuhan itu
tidak berbicara.” Ibrahim membalas: “Mengapa kalian menyembah sesuatu
yang tidak mampu berbicara, sesuatu yang tidak mampu memberikan manfaat
dan sesuatu yang tidak mampu memberikan mudarat. Tidakkah kalian mau
berpikir sebentar di mana letak akal kalian. Sungguh tuhan-tuhan kalian
telah hancur sementara tuhan yang paling besar berdiri dan hanya
memandanginya. Tuhan-tuhan itu tidak mampu menghindarkan gangguan dari
diri mereka, dan bagaimana mereka dapat mendatangkan kebaikan buat
kalian. Tidakkah kalian mau berpikir sejenak. Kapak itu tergantung di
tuhan yang paling besar tetapi anehnya dia tidak dapat menceritakan apa
yang terjadi. Ia tidak mampu berbicara, tidak mendengar, tidak
bergerak, tidak melihat, tidak memberikan manfaat, dan tidak
membahayakan. Ia hanya sekadar batu, lalu mengapa manusia menyembah
batu? Di mana letak akal pikiran yang sehat?” Allah SWT menceritakan
peristiwa tersebut dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah kami
anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun),
dan adalah Kami mengetahui keadaannya. (Ingatlah), ketika Ibrahim
berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Patung-patung itu apakah ini yang
kamu tekun beribadat kepadanya ?’ Mereka menjawab: “Kami mendapati
bapak-bapak kami menyembahnya.’ Ibrahim menjawab: ‘Sesungguhnya kamu
dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab:
‘Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu
termasuk orang-orang yang bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya
Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan
aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas apa yang
demikian itu. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.’ Maka
Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali
yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali
(untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: ‘Siapakah yang melakukan
perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk
orang-orang yang lalim.’ Mereka berkata: ‘Kami mendengar ada seorang
pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’ Mereka
berkata: ‘(Kalau demikian) Bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat
orang banyak, agar mereka menyaksikannya.’ Mereka bertanya: ‘Apakah
kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai
Ibrahim?’ Ibrahim menjawab: ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang
melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat
berbicara.’ Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu
berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya
(diri sendiri).’ Kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata):
Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala
itu tidak dapat berbicara.’ Ibrahim berkata:, maka mengapakah kamu
menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit
pun tidak dapat pula memberi mudarat kepada kamu?’ Ah (celakalah) kamu
dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak
memahaminya? Mereka berkata: ‘Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan
kami jika kamu benar-benar hendak bertindak.’” (QS. al-Anbiya’: 51-68)
Nabi Ibrahim mampu menundukkan mereka
dengan argumentasi dan logika berpikir yang sehat. Tetapi mereka
membalasnya dengan menetapkan akan menggantungnya di dalam api. Sungguh
ini sangat mengherankan. Suatu mahkamah yang mengerikan digelar di
mana si tertuduh akan dihukum dengan pembakaran.
Demikianlah masalah pergulatan antara
pemikiran, atau antara nilai-nilai, atau antara prinsip-prinsip selalu
terjadi dan selalu membara di tengah-tengah masyarakat. Nabi Ibrahim
sudah berusaha untuk menggugah hati dan pikiran Ketika beliau
mengisyaratkan kepada tuhan yang paling besar dan menuduhnya bahwa
ialah yang menghancurkan tuhan-tuhan yang lain. Nabi Ibrahim meminta
kepada mereka untuk bertanya kepada para tuhan itu, tentang siapa yang
membuatnya hancur. Tetapi para tuhan itu ddak mampu berbicara lalu
mengapa manusia menyembah sesuatu yang tidak mampu berbicara dan tidak
mengerti apa-apa.
Ketika Nabi Ibrahim berhasil merobohkan
argumentasi mereka, maka orang-orang yang sombong bangkit untuk
menenangkan suasana. Para penentang itu tidak mau manusia akan
menyembah selain berhala. Mereka pun mengatakan akan menggantung dan
akan membakar Ibrahim hidup-hidup. Nabi Ibrahim pun ditangkap lalu
disiapkanlah tempat pembakaran. Para penentang itu berkata kepada
pengikutnya: “Bakarlah Ibrahim, dan tolonglah tuhan kalian jika kalian
benar-benar menyembahnya.” Mereka pun terpengaruh dengan ucapan
tersebut. Mereka pun menyiapkan alat-alat untuk membakar Nabi Ibrahim.
Tersebarlah berita itu di kerajaan dan
di seluruh negeri. Manusia-manusia berdatangan dari berbagai pelosok,
dari gunung-gunung, dari berbagai desa, dan dari berbagai kota untuk
menyaksikan balasan yang diterima bagi orang yang berani menentang
tuhan, bahkan menghancurkannya. Mereka menggali lobang besar yang
dipenuhi kayu-kayu, batu-batu, dan pohon-pohon lalu mereka menyalakan
api di dalamnya. Kemudian mereka mendatangkan manjaniq, yaitu suatu
alat yang dapat digunakan untuk melempar Nabi Ibrahim ke dalam api
sehingga ia jatuh ke dalam lubang api. Mereka meletakkan Nabi Ibrahim
setelah mereka mengikat kedua tangannya dan kakinya pada manjaniq itu.
Api pun mulai menyala dan asapnya mulai membumbung ke langit. Manusia
yang melihat peristiwa itu berdiri agak jauh dari galian api itu karena
saking panasnya. Lalu, seorang tokoh dukun memerintahkan agar Ibrahim
dilepaskan ke dalam api. Tiba-tiba malaikat Jibril berdiri di hadapan
Nabi Ibrahim dan bertanya kepadanya: “Wahai Ibrahim, tidakkah engkau
memiliki keperluan?” Nabi Ibrahim menjawab: “Aku tidak memerlukan
sesuatu darimu.” Nabi Ibrahim pun dilepaskan lalu dimasukkan ke dalam
kubangan api. Nabi Ibrahim terjatuh dalam api. Api pun mulai
mengelilinginya, lalu Allah SWT menurunkan perintah kepada api, Allah
SWT berkata:
“Kami berfirman: Wahai api jadilah engkau dingin dan membawa keselamatan kepada Ibrahim.” (QS. al-Anbiya’: 69)
Api pun tunduk kepada perintah Allah
SWT sehingga ia menjadi dingin dan membawa keselamatan bagi Nabi
Ibrahim. Api hanya membakar tali-tali yang mengikat Nabi Ibrahim. Nabi
Ibrahim dengan tenang berada di tengah-tengah api seakan-akan beliau
duduk di tengah-tengah taman. Beliau memuji Allah SWT, Tuhannya dan
mengagungkan-Nya. Yang ada di dalam hatinya hanya cinta kepada sang
Kekasih, yaitu Allah SWT.
Hati Nabi Ibrahim tidak dipenuhi rasa
takut atau menyesal atau berkeluh kesah. Yang ada dalam hati beliau
hanya cinta semata. Api pun menjadi damai dan menjadi dingin.
Sesungguhnya orang-orang yang cinta kepada Allah SWT tidak akan
merasakan ketakutan. Para pembesar dan para dukun mengamat-amati dari
jauh betapa panasnya api itu. Bahkan api terus menyala dalam tempo yang
lama, sehingga orang-orang kafir mengira bahwa api itu tidak pernah
padam. Ketika api itu padam, mereka dibuat terkejut ketika melihat Nabi
Ibrahim keluar dari kubangan api dalam keadaan selamat. Wajah mereka
menjadi hitam karena terpengaruh asap api sementara wajah Nabi Ibrahim
berseri-seri dan tampak diliputi dengan cahaya dan kebesaran. Bahkan
pakaian yang dipakai Nabi Ibrahim pun tidak terbakar, dan beliau tidak
tersentuh sedikit pun oleh api. Nabi Ibrahim pun keluar dari api itu
bagaikan beliau keluar dari taman. Lalu orang-orang kafir pun berteriak
keheranan. Mereka pun mendapatkan kekalahan dan kerugian. Allah SWT
berfirman:
“Mereka hendak berbuat makar terhadap
Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi.”
(QS. al-Anbiya’: 70)
Al-Qur’an tidak menceritakan kepada
kita tentang usia Nabi Ibrahim saat menghancurkan berhala-berhala
kaumnya. Al-Qur’an juga tidak menceritakan berapa usia beliau saat
memikul tanggung jawab dakwah dan menyeru di jalan Allah SWT. Melalui
pelacakan nas-nas dapat diketahui bahwa Nabi Ibrahim saat itu masih
muda belia, ketika melakukan peristiwa besar itu. Bukti hal itu adalah,
ketika para kaumnya mendengar penghancuran berhala, mereka berkata:
“Mereka berkata: “Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” (QS. al-Anbiya’: 60)
Injil Barnabas menceritakan bahwa Nabi
Ibrahim menghancurkan patung-patung sebelum Allah SWT mewajibkannya
berdakwah. Injil Barnabas mengatakan pada pasal ke 29 bahwa Nabi
Ibrahim mendengar suatu suara yang memanggil-manggilnya. Nabi Ibrahim
bertanya: “Siapa yang memanggilku?” Ketika itu Nabi Ibrahim mendengar
suara yang berkata: “Aku adalah malaikat Jibril. Nabi Ibrahim menjadi
takut, tetapi malaikat itu segera menenangkannya sambil berkata:
“Jangan takut, hai Ibrahim karena engkau adalah kekasih Allah SWT, dan
ketika engkau menghancurkan tuhan-tuhan sembahan manusia, Allah SWT
memilihmu sebagai pemimpin para malaikat dan para nabi.” Kemudian—masih
kata Injil Barnabas: “Nabi Ibrahim bertanya apa yang harus dilakukan
untuk menyembah tuhan para malaikat dan para nabi?” Jibril menjawab:
“Bahwa hendaklah beliau pergi ke sumber ini dan mandi, agar dapat
mendaki gunung sehingga Allah SWT berbicara dengannya.”
Kemudian Nabi Ibrahim mendaki gunung,
lalu Allah SWT menyerunya. Nabi Ibrahim menjawab: “Siapa yang
memanggilku?” Allah SWT berkata: “Aku adalah Tuhanmu, hai Ibrahim.”
Nabi Ibrahim gemetar ketakutan dan sujud di atas bumi dan beliau
berkata: “Wahai Tuhanku, bagaimana hamba-Mu mendengar seruan-Mu
sementara ia adalah tanah dan abu.” Di sanalah Allah SWT
memerintahkannya agar beliau bangkit karena Allah SWT telah memilihnya
sebagai hamba-Nya dan Dia telah memberkatinya dan orang-orang yang
mengikutinya.
Riwayat tersebut menentukan waktu
pemilihan Nabi Ibrahim dan waktu pengangkatannya sewaktu beliau
menghancurkan berhala dan sesembahan-sesembahan manusia. Demikianlah
yang diceritakan oleh Al-Qur’an al-Karim dalam firman-Nya:
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya:
Tunduh patuhlah!’ Ibrahim menjawab: ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan
semesta alam.” (QS. al-Baqarah: 131)
Alhasil, masa pemilihan Allah SWT
terhadap Nabi Ibrahim tidak ditentukan dalam Al-Qur’an, sehingga kita
tidak dapat memberikan satu jawaban pasti tentang hal itu, tapi yang
mampu kita utarakan adalah, bahwa Nabi Ibrahim mampu membuat argumen
yang cukup jelas untuk menghancurkan argumen para penyembah berhala.
Sebagaimana beliau mampu sebelumnya menghancurkan argumen para
penyembah bintang, sehingga hanya tersisa satu argumen yang harus
disampaikan kepada para penguasa dan para raja. Dengan demikian,
orang-orang kafir telah mendapatkan seluruh argumen kebenaran.
Nabi Ibrahim pun akhirnya terlibat adu
argumentasi dengan raja yang menyangka bahwa dirinya adalah tuhan
kaumnya. Raja itu menyuruh mereka untuk menyembahnya. Dalam rangka
menjaga kepentingannya, boleh jadi memang ia menyangka bahwa dirinya
tuhan. Karena Allah SWT telah memberikannya suatu kerajaan yang besar,
ia lupa bahwa ia hanya manusia biasa. Kita tidak mengetahui, apakah ia
seorang raja atas kaum Nabi Ibrahim lalu ia mendengar kisah mukjizatnya
kemudian ia memanggilnya untuk berdebat dengan beliau, atau mungkin ia
raja dari daerah lain. Tapi yang kita ketahui bahwa pertemuan di
antara keduanya menyebabkan jatuhnya argumen-argumen orang kafir. Allah
SWT menceritakan hal tersebut dengan firman-Nya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang
yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah
memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim
mengatakan: ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu
berkata: ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata:
‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah
dia dari barat,’ lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. ” (QS. al-Baqarah:
258)
Allah SWT sengaja tidak menyebut nama
raja itu karena dianggap tidak penting, sebagaimana Al-Qur’an juga
tidak menyebut dialog panjang yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan
dia. Barangkali raja itu berkata kepada Nabi Ibrahim: “Aku mendengar
bahwa Anda mengajak manusia untuk menyembah Tuhan yang baru dan
meninggalkan tuhan yang lama.” Nabi Ibrahim menjawab: “Tiada Tuhan lain
selain Allah Yang Maha Esa.” Si Raja berkata: “Apa yang dilakukan oleh
tuhanmu yang tidak dapat aku lakukan?” Raja yang terkena penyakit
sombong dan bangga diri itu adalah raja yang tidak tahu diri.
Penghormatan manusia dan ketertundukkan manusia kepadanya itu justru
meningkatkan kesombongannya. Nabi Ibrahim mendengar apa yang dikatakan
oleh si raja. Nabi Ibrahim mengetahui segala sesuatunya. Nabi Ibrahim
berkata dengan lembut:
“Tuhanku adalah yang mampu menghidupkan dan mematikan.” (QS. al-Baqarah: 258)
Si raja membalas:
“Aku pun menghidupkan dan mematikan.” (QS. al-Baqarah: 258)
Nabi Ibrahim tidak bertanya bagaimana
si raja menghidupkan dan mematikan. Nabi Ibrahim tahu bahwa sebenarnya
ia berbohong. Raja berkata: “Aku mampu menghadirkan seseorang yang
sedang berjalan lalu aku membunuhnya, dan pada kesempatan yang lain aku
mampu memaafkan orang yang sudah dipastikan untuk dihukum gantung lalu
aku menyelamatkannya dari kematian. Dengan demikian, aku mampu memberi
kehidupan dan kematian.”
Mendengar kebodohannya itu, Nabi
Ibrahim tertawa dan pada saat yang sama beliau merasakan kesedihan.
Tetapi Nabi Ibrahim ingin mematahkan argumen raja itu yang mengatakan
bahwa ia mampu menghidupkan dan mematikan, padahal sebenarnya ia tidak
mampu. Nabi Ibrahim berkata:
“Sesungguhnya Allah mampu mendatangkan
matahari dari timur, maka kalau engkau mampu datangkanlah ia dari
barat. ” (QS. al-Baqarah: 258)
Mendengar tantangan Nabi Ibrahim itu,
raja menjadi terpaku dan terdiam ia merasa tidak mampu. la tidak mampu
berkata-kata lagi. Nabi Ibrahim berkata kepada raja bahwa Allah SWT
mampu mendatangkan matahari dari timur, apakah ia mampu mendatangkan
matahari dari barat. Tentu raja tidak mampu mendatangkannya. Alam
mempunyai aturan dan undang-undang yang diatur dan diciptakan oleh
Allah SWT di mana tiada makhluk yang lain yang mampu mengubahnya. Jika
raja mengklaim bahwa ia benar-benar tuhan, maka tentu ia dapat mengubah
hukum alam tersebut. Saat itu si raja merasa tidak mampu memenuhi
tantangan itu. Ia justru membisu. Ia tidak mengetahui apa yang harus
dikatakannya dan apa yang harus dilakukannya. Setelah orang-orang kafir
diam membisu, Nabi Ibrahim meninggalkan istana raja. Kemudian
ketenaran Nabi Ibrahim tersebar di segala penjuru negeri. Manusia mulai
ramai-ramai membicarakan mukjizatnya dan keselamatanya dari api.
Manusia menyinggung bagaimana sikap raja ketika mendengar tantangan
Nabi Ibrahim, dan bagaimana si raja menjadi membisu dan tidak
mengetahui apa yang harus dikatakannya.
Nabi Ibrahim tetap melanjutkan
dakwahnya di jalan Allah SWT. Nabi Ibrahim mencurahkan tenaga dan
upayanya untuk membimbing kaumnya. Nabi Ibrahim berusaha menyadarkan
mereka dengan berbagai cara. Meskipun beliau sangat cinta dan
menyayangi mereka, mereka malah justru marah kepadanya dan malah
mengusirnya. Dan tiada yang beriman bersamanya kecuali seorang
perempuan dan seorang lelaki. Perempuan itu bernama Sarah yang kemudian
menjadi istrinya sedangkan laki-laki itu adalah Luth yang kemudian
menjadi nabi setelahnya.
Ketika Nabi Ibrahim mengetahui bahwa
tidak seorang pun beriman selain kedua orang tersebut, ia menetapkan
untuk berhijrah. Sebelum beliau berhijrah, ia mengajak ayahnya beriman.
Kemudian Nabi Ibrahim mengetahui bahwa ayahnya adalah musuh Allah SWT
dan dia tidak akan beriman. Nabi Ibrahim pun berlepas diri darinya dan
memutuskan hubungan dengannya.
Untuk kedua kalinya dalam kisah para
nabi kita mendapati hal yang mengagetkan. Dalam kisah Nabi Nuh kita
menemukan bahwa si ayah seorang nabi dan si anak seorang kafir,
sedangkan dalam kisah Nabi Ibrahim justru sebaliknya: si ayah yang
menjadi kafir dan si anak yang menjadi nabi. Dalam kedua kisah tersebut
kita mengetahui bahwa seorang mukmin berlepas diri dari musuh Allah
SWT, meskipun dia adalah anaknya dan ayahnya.
Melalui kisah tersebut, Allah SWT
memberitahukan kepada kita bahwa hubungan satu-satunya yang harus
dipelihara dan harus diperhatikan di antara hubungan-hubungan
kemanusiaan adalah hubungan keimanan, bukan hanya hubungan darah. Allah
SWT berflrman dalam surah at-Taubah:
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim
(kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi
Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas
diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun. ” (QS. at-Taubah: 114)
Nabi Ibrahim keluar meninggalkan
negerinya dan memulai petualangannya dalam hijrah. Nabi Ibrahim pergi
ke kota yang bernama Aur dan ke kota yang lain bernama Haran, kemudian
beliau pergi ke Palestina bersama istrinya, satu-satunya wanita yang
beriman kepadanya. Beliau juga disertai Luth, satu-satunya lelaki yang
beriman kepadanya. Allah SWT berfirman:
“Maka Luth membenarkan (kenabian)nya.
Dan berkatalah Ibrahim: ‘Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat
yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.’” (QS. al-Ankabut: 26)
Setelah ke Palestina, Nabi Ibrahim
pergi ke Mesir. Selama perjalanan ini Nabi Ibrahim mengajak manusia
untuk menyembah Allah SWT, bahkan beliau berjuang dalam hal itu denqan
gigih. Beliau mengabdi dan membantu orang-orang yang tidak mampu dan
orang-orang yang lemah. Beliau menegakkan keadilan di tengah-tengah
manusia dan menunjukkan kepada mereka jalan yang benar.
Istri Nabi Ibrahim, Sarah, tidak
melahirkan, lalu raja Mesir memberikan seorang pembantu dari Mesir yang
dapat membantunya. Nabi Ibrahim telah menjadi tua dan rambutnya
memutih di mana beliau menggunakan usianya hanya untuk berdakwah di
jalan Allah SWT. Sarah berpikir bahwa ia dan Nabi Ibrahim tidak akan
mempunyai anak, lalu ia berpikir bagaimana seandainya wanita yang
membatunya itu dapat menjadi istri kedua dari suaminya. Wanita Mesir
itu bernama Hajar. Akhirnya, Sarah menikah-kan Nabi Ibrahim dengan
Hajar, kemudian Hajar melahirkan anaknya yang pertama yang dinamakan
oleh ayahnya dengan nama Ismail. Nabi Ibrahim saat itu menginjak usia
yang sangat tua ketika Hajar melahirkan anak pertamanya, Ismail.
Nabi Ibrahim hidup di bumi Allah SWT
dengan selalu menyembah-Nya, bertasbih, dan menyucikan-Nya. Kita tidak
mengetahui, berapajauh jarak yang ditempuh Nabi Ibrahim dalam
perjalanannya. Beliau adalah seorang musafir di jalan Allah SWT.
Seorang musafir di jalan Allah SWT menyadari bahwa hari-hari di muka
bumi sangat cepat berlalu, kemudian di tiupkan sangkakala lalu
terjadilah hari kiamat dan kemudian hari kebangkitan.
Pada suatu hari, had Nabi Ibrahim
dipenuhi rasa kedamian, cinta, dan keyakinan. Beliau ingin melihat
kebesaran Allah SWT, Sang Pencipta. Beliau ingin melihat hari kiamat
sebelum terjadinya. Allah SWT menceritakan sikapnya itu dalam
firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata:
‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana engkau menghidupkan arang
yang mati. ‘Allah berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab:
‘Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan
imanku).’” (QS. al-Baqarah: 260)
Hasrat Nabi Ibrahim terhadap hal
tersebut dipengaruhi oleh keimanan yang luar biasa; keimanan yang
dipenuhi cinta kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“(Kalau demikian), ambilah empat ekor
burung lalu cincanglah semuanya. Allah berfirman: ‘Lalu letakkanlah di
atas bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka
datang kepadamu dengan segera,” dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 260)
Nabi Ibrahim melakukan apa saja yang
diperintahkan oleh Allah SWT. Beliau menyembelih empat ekor burung lalu
memisah-misahkan bagiannya di atas gunung, kemudian ia memamanggilnya
dengan nama Allah SWT. Tiba-tiba bulu-bulu dan burung itu bangkit dan
bergabung dengan sayap-sayapnya, kemudian dada dari burung itu mencari
kepalanya. Akhirnya, bagian-bagian burung yang terpisah kembali
bergabung. Burung itu pun kembali mendapatkan kehidupan lalu burung itu
terbang dengan cepat dan kembali ke pangkuan Nabi Ibrahim.
Para ahli tafsir meyakini bahwa
eksperimen ini berangkat dari kehausan ilmu yang ada pada Nabi Ibrahim,
dan sebagian lagi mengatakan bahwa beliau ingin melihat kebesaran
Allah SWT saat menciptakan makhluk-Nya. Beliau memang sudah mengetahui
hasilnya, tapi beliau tidak melihat cara pembuatan penciptaan makhluk.
Sebagian mufasir lain mengatakan bahwa beliau merasa puas atas apa yang
dikatakan oleh Allah SWT dan beliau tidak jadi menyembelih burung.
Kami sendiri menilai bahwa eksperimen ini menunjukkan tingkat cinta
yang tinggi yang dicapai oleh seorang musafir di jalan Allah SWT, yaitu
Nabi Ibrahim. Seorang pecinta akan selalu timbul dalam dirinya hasrat,
rasa tunduk, dan rasa ingin menambah cintanya. Demikianlah cinta Nabi
Ibrahim. Inilah petualangan Nabi Ibrahim di mana setiap kali ia melalui
perjalanannya, maka kehausan cintanya pun meningkat. Pada suatu hari
Nabi Ibrahim bangun lalu beliau memerintahkan istrinya, Hajar, untuk
membawa anaknya bersiap-siap untuk melalui perjalanan panjang. Setelah
beberapa hari, dimulailah perjalanan Nabi Ibrahim ber-sama istrinya
Hajar beserta anak mereka, Ismail. Saat itu Ismail masih menyusu pada
ibunya.
Nabi Ibrahim berjalan di tengah-tengah
tanah yang penuh dengan tanaman, melewati gurun dan gunung-gunung.
Kemuudian beliau memasuki tanah Arab. Nabi Ibrahim menuju ke suatu
lembah yang di dalamnya tidak ada tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak
ada pepohonan, tidak ada makanan dan tidak ada air. Lembah itu kosong
dari tanda-tanda kehidupan. Nabi Ibrahim sampai ke lembah, lalu beliau
turun dari atas punggung hewan tunggangannya. Lalu beliau menurunkan
istrinya dan anaknya dan meninggalkan mereka di sana. Mereka hanya
dibekali dengan makanan dan sedikit air yang tidak cukup untuk
kebutuhan dua hari.
Ketika beliau mulai meninggalkan mereka
dan berjalan, tiba-tiba istrinya segera menyusulnya dan berkata
kepadanya: “Wahai Ibrahim, ke mana engkau pergi? Mengapa engkau
meninggalkan kami di lembah ini, padahal di dalamnya tidak terdapat
sesuatu pun.” Nabi Ibrahim tidak segera menjawab dan ia tetap berjalan.
Istrinya pun kembali mengatakan perkataan yang dikatakan sebelumnya.
Namun Nabi Ibrahim tetap diam. Akhirnya, si istri memahami bahwa Nabi
Ibrahim tidak bersikap demikian kecuali mendapat perintah dari Allah
SWT. Kemudian si istri bertanya: “Apakah Allah SWT memerintahkannya
yang demikian ini?” Nabi Ibrahim menjawab: “Benar.” Istri yang beriman
itu berkata: “Kalau begitu, kita tidak akan disia-siakan.” Nabi Ibrahim
menuju ke tempat di suatu gunung lalu beliau mengangkat kedua
tangannya untuk berdoa kepada Allah SWT:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempuyai
tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. ” (QS.
Ibrahim: 37)
Saat itu Baitullah belum dibangun.
Terdapat hikmah yang tinggi dalam perjalanan yang penuh dengan misteri
ini. Ismail ditinggalkan bersama ibunya di tempat ini. Ismail-lah yang
akan bertanggung jawab bersama ayahnya dalam pembangunan Ka’bah. Hikmah
Allah SWT menuntut untuk didirikannya suatu bangunan di lembah itu
dan dibangun di dalamnya Baitullah, di mana kita akan menuju ke sana
dan menghadap kepadanya saat kita salat.
Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya dan
anaknya yang masih menyusu di padang sahara. Ibu Ismail menyusui
anaknya dan mulai merasakan kehausan. Saat itu matahari bersinar sangat
panas dan membuat manusia mudah merasa haus. Setelah dua hari,
habislah air dan keringlah susu si ibu. Hajar dan Ismail merasakan
kehausan, dan makanan telah tiada sehingga saat itu mereka merasakan
kesulitan yang luar biasa. Ismail mulai menangis kehausan dan ibunya
meninggalkannya untuk mencarikan air. Si ibu berjalan dengan cepat
hingga sampai di suatu gunung yang bernama Shafa. Ia menaikinya dan
meletakkan kedua tangannya di atas keningnya untuk melindungi kedua
matanya dari sengatan matahari. Ia mulai mencari-cari sumber air atau
sumur atau seseorang yang dapat membantunya atau kafilah atau musafir
yang dapat menolongnya atau berita namuii semua harapannya itu gagal.
Ia segera turun dari Shafa dan ia mulai berlari dan melalui suatu
lembah dan sampai ke suatu gunung yang bernama Marwah. Ia pun
mendakinya dan melihat apakah ada seseorang tetapi ia tidak melihat ada
seseorang.
Si ibu kembali ke anaknya dan ia masih
mendapatinya dalam keadaan menangis dan rasa hausnya pun makin
bertambah. Ia segera menuju ke Shafa dan berdiri di atasnya, kemudian
ia menuju ke Marwah dan melihat-lihat. Ia mondar-mandir, pulang dan
pergi antara dua gunung yang kecil itu sebanyak tujuh kali. Oleh
karenanya, orang-orang yang berhaji berlari-lari kecil antara Shafa dan
Marwah sebanyak tujuh kali. Ini adalah sebagai peringatan terhadap ibu
mereka yang pertama dan nabi mereka yang agung, yaitu Ismail.
Setelah putaran ketujuh, Hajar kembali
dalam keadaan letih dan ia duduk di sisi anaknya yang masih menangis.
Di tengah-tengah situasi yang sulit ini, Allah SWT menurunkan
rahmat-Nya. Ismail pun memukul-mukulkan kakinya di atas tanah dalam
keadaan menangis, lalu memancarlah di bawah kakinya sumur zamzam
sehingga kehidupan si anak dan si ibu menjadi terselamatkan. Si ibu
mengambil air dengan tangannya dan ia bersyukur kepada Allah SWT. Ia
pun meminum air itu beserta anaknya, dan kehidupan tumbuh dan bersemi
di kawasan itu. Sungguh benar apa yang dikatakannya bahwa Allah SWT
tidak akan membiarkannya selama mereka berada di jalan-Nya.
Kafilah musafir mulai tinggal di
kawasan itu dan mereka mulai mengambil air yang terpancar dari sumur
zamzam. Tanda-tanda kehidupan mulai mengepakkan sayapnya di daerah itu.
Ismail mulai tumbuh dan Nabi Ibrahim menaruh kasih sayang dan
perhatian padanya, lalu Allah SWT mengujinya dengan ujian yang berat.
Allah SWT menceritakan ujian tersebut dalam firman-Nya:
“Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku
pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.
Ya Tuhanku, anugerahkan kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang
anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata: ‘Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah din
dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan Kami panggilah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya engkau
telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman. ” (QS. ash-Shaffat: 99-111)
Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT
menguji hamba-hamba-Nya. Renungkanlah bentuk ujian tersebut. Kita
sekarang berada di hadapan seorang nabi yang hatinya merupakan hati
yang paling lembut dan paling penyayang di muka bumi. Hatinya penuh
dengan cinta kepada Allah SWT dan cinta kepada makhluk-Nya. Nabi
Ibrahim mendapatkan anak saat beliau menginjak usia senja, padahal
sebelumnya beliau tidak membayangkan akan memperoleh karunia seorang
anak.
Nabi Ibrahim tidur, dan dalam tidurnya
beliau melihat dirinya sedang menyembelih anaknya, anak satu-satunya
yang dicintainya. Timbullah pergolakan besar dalam dirinya. Sungguh
salah kalau ada orang mengira bahwa tidak ada pergolakan dalam dirinya.
Nabi Ibrahim benar-benar diuji dengan ujian yang berat. Ujian yang
langsung berhubungan dengan emosi kebapakan yang penuh dengan cinta dan
kasih sayang. Nabi Ibrahim berpikir dan merenung. Kemudian datanglah
jawaban bahwa Allah SWT melihatkan kepadanya bahwa mimpi para nabi
adalah mimpi kebenaran. Dalam mimpinya, Nabi Ibrahim melihat bahwa ia
menyembelih anak satu-satunya. Ini adalah wahyu dari Allah SWT dan
perintah dari-Nya untuk menyembelih anaknya yang dicintainya.
Sebagai pecinta sejati, Nabi Ibrahim
tidak merasakan kegelisahan dari hal tersebut. Ia tidak “menggugat”
perintah Allah SWT itu. Nabi Ibrahim adalah penghulu para pecinta. Nabi
Ibrahim berpikir tentang apa yang dikatakan kepada anaknya ketika ia
menidurkannya di atas tanah untuk kemudian menyembelihnya. Lebih baik
baginya untuk memberitahu anaknya dan hal itu lebih menenangkan hatinya
daripada memaksanya untuk menyembelih. Akhirnya, Nabi Ibrahim pergi
untuk menemui anaknya.
“Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku
sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi, aku menyembelihmu, maka
bagaimana pendapatmu. ” (QS. ash-Shaffat: 102)
Perhatikanlah bagaimana kasih sayang
Nabi Ibrahim dalam menyampaikan perintah kepada anaknya. la menyerahkan
urusan itu kepada anaknya; apakah anaknya akan menaati perintah
tersebut. Bukankah perintah tersebut adalah perintah dari Tuhannya?
Ismail menjawab sama dengan jawaban dari ayahnya itu bahwa perintah itu
datangnya dari Allah SWT yang karenanya si ayah harus segera
melaksanakannya:
“Wahai ayahku kerjakanlah yang
diperintahkan Tuhanmu. Insya Allah engkau mendapatiku sebagai
orang-orang yang sabar.” (QS. ash-Shaffat: 102)
Perhatikanlah jawaban si anak. Ia
mengetahui bahwa ia akan disembelih sebagai pelaksanaan perintah Tuhan,
namun ia justru menenangkan hati ayahnya bahwa dirinya akan bersabar.
Itulah puncak dari kesabaran. Barangkali si anak akan merasa berat
ketika harus dibunuh dengan cara disembelih sebagai pelaksanaan
perintah Allah SWT. Tetapi Nabi Ibrahim merasa tenang ketika mendapati
anaknya menantangnya untuk menunjukkan kecintaan kepada Allah SWT.
Kita tidak mengetahui perasaan
sesungguhnya Nabi Ibrahim ketika mendapati anaknya menunjukkan
kesabaran yang luar biasa. Allah SWT menceritakan kepada kita bahwa
Ismail tertidur di atas tanah dan wajahnya tertelungkup di atas tanah
sebagai bentuk hormat kepada Nabi Ibrahim agar saat ia menyembelihnya
Ismail tidak melihatnya, atau sebaliknya. Kemudian Nabi Ibrahim
mengangkat pisaunya sebagai pelaksanan perintah Allah SWT:
“Tatkala keduanya telah berserah din
dan Ibrahim, membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya).” (QS. ash-Shaffat: 103)
Al-Qur’an menggunakan ungkapan tersebut
ketika keduanya menyerahkan diri terhadap pertintah Allah SWT. Ini
adalah wujud Islam yang hakiki. Hendaklah engkau memberikan sesuatu
untuk Islam sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersisa darimu. Pada
saat pisau siap untuk digunakan sebagai perintah dari Allah SWT, Allah
SWT memanggil Ibrahim. Selesailah ujiannya, dan Allah SWT menggantikan
Ismail dengan suatu kurban yang besar.
Peristiwa tersebut kemudian diperingati sebagai hari raya
oleh kaum Muslim, yaitu hari raya yang mengingatkan kepada mereka
tentang Islam yang hakiki yang dibawa dan di amalkan oleh Nabi Ibrahim
dan Ismail. Demikianlah kisah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim meninggalkan
anaknya dan kembali berdakwah di bumi Allah SWT. Nabi Ibrahim berhijrah
dari tanah Kaldanin, tempat kelahirannya di Irak, dan melalui Yordania
dan tinggal di negeri Kan’an. Saat berdakwah, beliau tidak lupa
bertanya tentang kisah Nabi Luth bersama kaumnya. Nabi Luth adalah
orang yang pertama kali beriman kepadanya. Allah SWT telah memberinya
pahala dan telah mengutusnya sebagai Nabi kepada kaum yang menentang
kebenaran.
Nabi Ibrahim duduk di luar kemahnya dan
memikirkan tentang anaknya Ismail, dan kisah mimpinya serta tentang
tebusan dari Allah SWT berupa kurban yang besar. Hatinya penuh dengan
gelora cinta. Nabi Ibrahim tidak mampu menghitung pujian yang harus
ditujukan kepada Tuhannya. Matanya berlinangan air mata sebagai bukti
rasa terima kasih dan syukur kepada Allah SWT. Mulailah butiran-butiran
air matanya bercucuran. Nabi Ibrahim mengingat Ismail dan mulai rindu
kepadanya.
Dalam situasi seperti itu, turunlah
malaikat (Jibril, Israfil, dan Mikail) ke bumi Jibril. Mereka berubah
wujud menjadi manusia yang indah dan tampan. Mereka memegang misi dan
tugas khusus. Mereka berjalan di depan Nabi Ibrahim dan menyampaikan
berita gembira padanya, kemudian mereka akan mengunjungi kaum Nabi Luth
dan memberikan hukum atas kejahatan kaumnya. Melihat wajah-wajah yang
bersinar itu, Nabi Ibrahim tercengang dan mengangkat kepalanya. Nabi
Ibrahim tidak mengenal mereka. Mereka mengawali ucapan salam. Dan Nabi
Ibrahim membalas salam mereka. Nabi Ibrahim bangkit dari tempatnya dan
menyambut mereka. Nabi Ibrahim mempersilakan mereka masuk ke dalam
rumahnya. Nabi Ibrahim mengira bahwa mereka adalah tamu-tamu asing.
Nabi Ibrahim mempersilahkan mereka duduk, dan kemudian ia meminta izin
kepada mereka untuk keluar dan menemui keluarganya. Sarah, istrinya,
bangun ketika Nabi Ibrahim masuk menemuinya. Saat itu Sarah sudah mulai
tua dan rambutnya mulai memutih.
Nabi Ibrahim berkata kepada istrinya:
“Aku dikunjungi oleh tiga orang asing.” Istrinya bertanya: “Siapakah
mereka?” Nabi Ibrahim menjawab: “Aku tidak mengenal mereka. Sungguh
wajah mereka sangat aneh. Tak ragu lagi, mereka pasti datang dari
tempat yang jauh, tetapi pakaian mereka tidak menunjukkan mereka
berasal dari daerah yang jauh. Oh iya, apakah ada makanan yang dapat
kita berikan kepada mereka?” Sarah berkata: “Separo daging kambing.”
Nabi Ibrahim berkata: “Hanya separo daging kambing. Kalau begitu,
sembelihlah satu kambing yang gemuk. Mereka adalah tamu-tamu yang
istimewa. Mereka tidak memiliki hewan tunggangan atau makanan.
Barangkali mereka lapar, atau barangkali mereka orang-orang yang tidak
mampu.”
Nabi Ibrahim memilih satu kambing besar
dan memerintahkan untuk disembelih serta menyebut nama Allah SWT saat
menyembelihnya. Kemudian disiapkanlah makanan. Setelah siap, Nabi
Ibrahim memanggil tamu-tamunya untuk makan. Istrinya membantu untuk
melayani mereka dengan penuh kehormatan. Nabi Ibrahim mengisyaratkan
untuk menyebut nama Allah SWT, kemudian Nabi Ibrahim mulai mengawali
untuk memakan agar mereka juga mulai makan.
Nabi Ibrahim adalah orang yang sangat
dermawan dan beliau mengetahui bahwa Allah SWT pasti membalas
orang-orang yang dermawan. Barangkali di rumahnya tidak ada hewan lain
selain kambing itu, tetapi karena kedermawanannya, beliau pun
menghidangkan kambing itu untuk tamunya. Nabi Ibrahim memperhatikan
sikap tamu-tamunya, namun tak seorang pun di antara tamunya yang
mengulurkan tangan. Nabi Ibrahim mendekatkan makanan itu kepada mereka
sambil berkata: “Mengapa kalian tidak makan?” Nabi Ibrahim kembali ke
tempatnya sambil mencuri pandangan, tapi lagi-lagi mereka masih tidak
memakannya. Saat itu Nabi Ibrahim merasakan ketakutan.
Dalam tradisi kaum Badui diyakini bahwa
tamu yang tidak mau makan hidangan yang disajikan oleh tuan rumah,
maka ini berarti bahwa ia hendak berniat jelek pada tuan rumah. Nabi
Ibrahim kembali berpikir dengan penuh keheranan melihat sikap
tamu-tamunya. Nabi Ibrahim kembali berpikir, bagaimana tamu-tamu itu
secara mendadak menemuinya di mana ia tidak melihat mereka sebelumnya
kecuali setelah mereka ada di hadapannya. Mereka tidak memiliki
binatang tunggangan yang mengantarkan mereka. Mereka juga tidak membawa
bekal perjalanan. Wajah-wajah mereka sangat aneh baginya. Mereka
adalah para musafir, tetapi anehnya tidak ada bekas debu perjalanan.
Kemudian Nabi Ibrahim mengajak mereka makan, lalu mereka duduk di atas
meja makan tetapi mereka tidak makan sedikit pun. Bertambahlah
ketakutan Nabi Ibrahim.
Beliau mengangkat pandangannya, lalu
beliau mendapati istrinya Sarah berdiri di ujung kamar. Melalui
pandangannya yang membisu, Nabi Ibrahim hendak mengatakan bahwa ia
merasa takut terhadap tamu-tamunya, namun wanita itu tidak memahaminya.
Nabi Ibrahim berpikir bahwa tamu-tamunya itu berjumlah tiga orang dan
mereka tampak masih muda-muda sedangkan ia sudah tua. Para malaikat
dapat membaca pikiran yang bergolak dalam diri Nabi Ibrahim. Salah
seorang malaikat berkata padanya: “Janganlah engkau takut.” Nabi
Ibrahim mengangkat kepalanya dan dengan penuh kejujuran ia berkata:
“Aku mengakui bahwa aku merasa takut. Aku telah mengajak kalian untuk
makan dan telah menyambut kalian, tapi kalian tidak mau memakannya.
Apakah kalian mempunyai niat buruk kepadaku?” Salah seorang malaikat
tersenyum dan berkata: “Kita tidak makan wahai Ibrahim, karena kita
adalah malaikat-malaikat Allah SWT dan kami telah diutus kepada kaum
Luth.”
Mendengar semua itu, istri Nabi Ibrahim
tertawa. Ia berdiri mengikuti dialog yang terjadi antara suaminya dan
rnereka. Salah seorang malaikat menoleh kepadanya dan memberinya kabar
gembira tentang kelahiran Ishak. Allah SWT memberimu kabar gembira
dengan kelahiran Ishak. Wanita tua itu dengan penuh keheranan berkata:
“Sungguh mengherankan, apakah aku akan
melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini
suamiku pun dalam keadaan yang sangat tua pula?” (QS. Hud: 72)
Dan salah seorang malaikat kembali berkata kepadanya:
“Dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya’qub.” (QS. Hud: 71)
Engkau akan menyaksikan kelahiran
cucumu. Bergolaklah berbagai perasaan dalam had Nabi Ibrahim dan
istrinya. Suasana di kamar pun berubah dan hilanglah rasa takut dari
Nabi Ibrahim. Kemudian hatinya dipenuhi dengan kegembiraan. Istrinya
yang mandul berdiri dalam keadaan gemetar, karena berita gembira yang
dibawa oleh para malaikat itu cukup menggoncangkan jiwanya. Ia adalah
wanita yang tua dan mandul dan suaminya juga laki-laki tua, maka
bagaimana mungkin, padahal dia adalah wanita tua. Di tengah-tengah
berita yang cukup menggoncangkan tersebut, Nabi Ibrahim bertanya:
“Apakah kamu memberi kabar gembira
kepadaku padahal usiaku ielah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah
(terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?” (QS. al-Hijr:
54)
Apakah beliau ingin mendengarkan kabar
gembira untuk kedua kalinya, ataukah ia ingin agar hatinya menjadi
tenang dan mendengar kedua kalinya karunia dari Allah SWT padanya?
Ataukah Nabi Ibrahim ingin menampakkan kegembiraannya kedua kalinya?
Para malaikat menegaskan padanya bahwa mereka membawa berita gembira
yang penuh dengan kebenaran.
“Mereka menjawab: ‘Kami menyampaikan
kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk
orang-orang yang berputus asa.’” (QS. al-Hijr: 55)
“Ibrahim berkata: ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.’” (QS. al-Hijr: 56)
Para malaikat tidak memahami perasaan
kemanusiaannya, maka mereka melarangnya agar jangan sampai berputus
asa. Nabi Ibrahim memahamkan mereka bahwa ia tidak berputus asa tetapi
yang ditampakkannya hanya sekadar kegembiraan. Kemudian istri Nabi
Ibrahim turut bergabung dalam pembicaraan bersama mereka. la bertanya
dengan penuh keheranan: “Apakah aku akan melahirkan sementara aku
adalah wanita yang sudah tua. Sungguh hal ini sangat mengherankan.”
Para malaikat menjawab:
“Para malaikat itu berkata: ‘Apakah
kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah
dan keberkatan-Nya, dicurahhan atas kamu, hai Ahlulbait! Sesungguhnya
Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.’” (QS. Hud: 73)
Berita gembira itu bukan sesuatu yang
sederhana dalam kehidupan Nabi Ibrahim dan istrinya. Nabi Ibrahim tidak
mempuyai anak kecuali Ismail di mana ia meninggalkannya di tempat yang
jauh, di Jazirah Arab. Istrinya Sarah selama puluhan tahun bersamanya
dan tidak memberinya anak. Ia sendiri yang menikahkan Nabi Ibrahim
dengan pembantunya, Hajar. Maka dari Hajar lahirlah Ismail, sedangkan
Sarah tidak memiliki anak. Oleh karena itu, Sarah memiliki kerinduan
besar terhadap anak.
Para malaikat berkata padanya:
“Sesungguhnya itu terjadi dengan kehendak Allah SWT. Demikianlah yang
diinginkan-Nya kepadanya dan pada suaminya.” Kemudian saat ia berusia
senja, ia mendapatkan kabar gembira di mana ia akan melahirkan seorang
anak, bukan anak biasa tetapi seorang anak yang cerdas. Bukan ini saja,
para malaikat juga menyampaikan kepadanya bahwa anaknya akan mempunyai
anak (cucunya) dan ia pun akan menyaksikannya. Wanita itu telah
bersabar cukup lama kemudian ia memasuki usia senja dan lupa. Lalu
datanglah balasan Allah SWT dengan tiba-tiba yang menghapus semua ini.
Air matanya berlinang saat ia berdiri karena saking gembiranya.
Sementara itu Nabi Ibrahim as merasakan suatu perasaan yang
mengherankan. Hatinya dipenuhi dengan kasih sayang dan kedekatan. Nabi
Ibrahim mengetahui bahwa ia sekarang berada di hadapan suatu nikmat yang
ia tidak mengetahui bagaimana harus mensyukurinya.
Nabi Ibrahim segera bersujud. Saat itu
anaknya Ismail ada di sana namun ia jauh darinya sehingga tidak
melihatnya. Ismail ada di sana atas perintah Allah SWT di mana Dia
memerintahkannya untuk membawa anaknya bersama ibunya dan meninggalkan
mereka di suatu lembah yang tidak memiliki tanaman dan air.
Demikianlah perintah tersebut tanpa ada keterangan yang lain. Nabi
Ibrahim melaksanakan perintah tersebut dengan tulus, dan beliau hanya
berdakwah dan menyembah Allah SWT. Allah SWT memberinya kabar gembira
saat beliau menginjak usia tua dengan kelahiran Ishak dari istrinya
Sarah, dan setelah kelahirannya disusul dengan kelahiran Yakub. Nabi
Ibrahim bangun dari sujudnya lalu pandangannya tertuju pada makanan. Ia
merasa tidak rnarnpu lagi melanjutkan makan karena saking gembiranya.
Ia memerintahkan pembantunya untuk mengangkat makanan, lalu beliau
menoleh kepada para malaikat. Hilanglah rasa takut Nabi Ibrahim dan
keresahannya menjadi tenang. Nabi Ibrahim mengetahui bahwa mereka
diutus pada kaum Luth sedangkan Luth adalah anak saudaranya yang tinggal
bersamanya di tempat kelahirannya.
Nabi Ibrahim mengetahui maksud
pengutusan para malaikat pada Luth dan kaumnya. Ini berarti akan
terjadi suatu hukuman yang mengerikan. Karakter Nabi Ibrahim yang
penyayang dan lembut menjadikannya tidak mampu menahan kehancuran suatu
kaum. Barangkali kaum Luth akan bertaubat dan masuk Islam serta
menaati perintah rasul mereka. Nabi Ibrahim mulai mendebat para
malaikat tentang kaum Luth. Nabi Ibrahim berbicara kepada mereka,
bahwa boleh jadi mereka akan beriman dan keluar dari jalan
penyimpangan. Namun para malaikat memahamkannya bahwa kaum Luth adalah
orang-orang yang jahat, dan bahwa tugas mereka adalah mengirim
batu-batuan yang panas dari sisi Tuhan bagi orang-orang yang melampaui
batas.
Setelah para malaikat menutup pintu
dialog itu, Nabi Ibrahim kembali berbicara kepada mereka tentang
orang-orang mukmin dari kaum Luth. Ia bertanya kepada mereka: “Apakah
kalian akan menghancurkan suatu desa yang di dalamnya terdapat tiga
ratus orang mukmin?” Para malaikat menjawab: “Tidak.” Nabi Ibrahim
mulai mengurangi jumlah orang-orang mukmin dan ia bertanya lagi kepada
mereka: “Apakah desa itu akan dihancurkan sementara masih ada sejumlah
orang-orang mukmin ini.” Para malaikat menjawab: “Kami lebih mengetahui
orang-orang yang ada di dalamnya.” Kemudian mereka memahamkannya bahwa
perkara tersebut telah ditetapkan dan bahwa kehendak Allah SWT telah
diputuskan untuk menghancurkan kaum Luth. Para malaikat memberi
pengertian kepada Nabi Ibrahim agar beliau tidak terlibat lebih jauh
dalam dialog itu karena Allah SWT telah memutuskan perintah-Nya untuk
mendatangkan azab yang tidak dapat ditolak, suatu azab yang tidak dapat
dihindari dengan pertanyaan Nabi Ibrahim. Namun pertanyaan Nabi
Ibrahim itu berangkat dari seorang Nabi yang sangat penyayang dan
penyantun. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya utusan-utusan kami
(malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar
gembira, mereka mengucapkan: ‘Salamun’ (Selamatlah), maka tidak lama
kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka
tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang
aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu
berkata: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah
(malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth. Dan istrinya berdiri
(di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka kami sampaikan kepadanya
kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir
putranya) Yakub. Istrinya berkata: ‘Sungguh mengherankan, apakah aku
akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini
suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini
benar-benar suatu yang sangat aneh.’ Para malaikat itu berkata: ‘Apakah
kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah
dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya
Allah Maha Pemurah lagi Maha Terpuji.’ Maka tatkala rasa takut itu
hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, dia pun
bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth.
Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi
penghiba dan suka kembali kepada Allah. Hai Ibrahim, tinggalkanlah
soaljawab ini sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan
sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak.”
(QS. Hud: 69-76)
Pernyataan malaikat itu sebagai syarat
untuk mengakhiri perdebatan itu. Ibrahim pun terdiam. Marilah kita
tinggalkan Nabi Ibrahim dan kita beralih pada Nabi Luth dan kaumnya.