Selesailah kisah kaum Nabi Nuh dalam
sejarah. Mayoritas di antara mereka yang mendustakan ajarannya telah
dihancurkan oleh topan. Sedangkan minoritas di antara mereka dapat
kembali memakmurkan bumi sebagai wujud dari sunatullah dan janji-Nya:
Sedangkan janji Allah SWT kepada Nabi Nuh adalah:
“Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang takwa.” (QS. al-Qashash: 83)
“Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang takwa.” (QS. al-Qashash: 83)
Dan janji Allah SWT juga kepada Nabi Nuh adalah:
“Difirmankan: ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada pula umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam hehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami. ” (QS. Hud: 48)
“Difirmankan: ‘Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada pula umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam hehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami. ” (QS. Hud: 48)
Berputarlah roda kehidupan dan datanglah
janji Allah SWT. Setelah datangnya topan, tiada yang tersisa dari
manusia di muka bumi kecuali orang-orang yang beriman. Tiada satu hati
yang kafir pun berada di muka bumi dan setan mulai mengeluhkan
pengangguran.
Berlalulah tahun demi tahun, lalu
matilah para orang tua dan anak-anak, dan datanglah anak dari anak-anak.
Manusia lupa akan wasiat Nabi Nuh dan mereka kembali menyembah berhala.
Manusia menyimpang dari penyembahan yang semata-mata untuk Allah SWT.
Akhirnya, tipuan kuno berulang kembali. Para cucu kaum Nabi Nuh berkata:
“Kita tidak ingin melupakan kakek kita yang Allah SWT selamatkan mereka
dari topan.”
Oleh karena itu, mereka membuat
patung-patung orang-orang yang selamat itu yang dapat mengingatkan
mereka dengannya. Dan pengagungan ini semakin berkembang generasi demi
generasi, namun akhimya penghormatan itu berubah menjadi penghambaan.
Patung-patung itu berubah—dengan bisikan setan—menjadi tuhan selain
Allah SWT. Dan bumi kembali mengeluhkan kegelapan. Lalu Allah SWT
rnengutus junjungan kita Nabi Hud di tengah-tengah kaumnya.
Al-Qur’an menyingkap ceritanya setelah
diutusnya Nabi Hud untuk membawa agama kepada manusia. Nabi Hud berasal
dari kabilah yang bernama ‘Ad. Kabilah ini tinggal di suatu tempat yang
bernama al-Ahqaf. la adalah padang pasir yang dipenuhi dengan
gunung-gunung pasir dan tampak dari puncaknya lautan. Adapun tempat
tinggal mereka berupa tenda-tenda besar dan mempuyai tiang-tiang yang
kuat dan tinggi. Kaum ‘Ad terkenal dengan kekuatan fisik di saat itu,
dan mereka juga memiliki tubuh yang amat tinggi dan tegak sampai-sampai
mereka mengatakan seperti yang dikutip oleh Al-Qur’an:
“Mereka berkata: ‘Siapakah yang lebih kuat daripada kami.’” (QS. Fushilat: 15)
“Mereka berkata: ‘Siapakah yang lebih kuat daripada kami.’” (QS. Fushilat: 15)
Tiada seorang pun di masa itu yang dapat
menandingi kekuatan mereka. Meskipun mereka memiliki kebesaran tubuh,
namun mereka memiliki akal yang gelap. Mereka menyembah berhala dan
membelanya bahkan mereka siap berperang atas namanya. Mereka malah
menuduh nabi mereka dan mengejeknya. Selama mereka menganggap bahwa
kekuatan adalah hal yang patut dibanggakan, maka seharusnya mereka
melihat bahwa Allah SWT yang menciptakan mereka lebih kuat dari mereka.
Sayangnya, mereka tidak melihat selain kecongkakan mereka. Nabi Hud
berkata kepada mereka:
“Wahai kaumku, sembahlah Allah yang tiada tuhan lain bagi kalian selain-Nya. ” (QS. Hud: 50)
Itu adalah perkataan yang sama yang
diucapkan oleh seluruh nabi dan rasul. Perkataan tersebut tidak pernah
berubah, tidak pernah berkurang, dan tidak pernah dicabut kembali.
Kaumnya bertanya kepadanya: “Apakah engkau ingin menjadi pemimpin bagi
kami melalui dakwahmu ini? Imbalan apa yang engkau inginkan?” Nabi Hud
memberitahu mereka bahwa ia hanya mengharapkan imbalan dari Allah SWT.
Ia tidak menginginkan sesuatu pun dari mereka selain agar mereka
menerangi akal mereka dengan cahaya kebenaran. Ia mengingatkan mereka
tentang nikmat Allah SWT terhadap mereka. Bagaimana Dia menjadikan
mereka sebagai khalifah setelah Nabi Nuh, bagaimana Dia memberi mereka
kekuatan fisik, bagaimana Dia menempatkan mereka di bumi yang penuh
dengan kebaikan, bagaimana Dia mengirim hujan lalu menghidupkan bumi
dengannya.
Kaum Hud membuat kerusakan dan mengira
bahwa mereka orang-orang yang terkuat di muka bumi, sehingga mereka
menampakkan kesombongan dan semakin menentang kebenaran. Mereka berkata
kepada Nabi Hud: “Bagaimana engkau menuduh tuhan-tuhan kami yang kami
mendapati ayah-ayah kami menyembahnya?” Nabi Hud menjawab: “Sungguh
orang tua kalian telah berbuat kesalahan.” Kaum Nabi Hud berkata:
“Apakah engkau akan mengatakan wahai Hud bahwa setelah kami mad dan
menjadi tanah yang beterbangan di udara, kita akan kembali hidup?” Nabi
Hud menjawab: “Kalian akan kembali pada hari kiamat dan Allah SWT akan
bertanya kepada masing-masing dari kalian tentang apa yang kalian
lakukan.”
Setelah mendengar jawaban itu,
meledaklah tertawa dari mereka. Alangkah anehnya pengakuan Hud,
demikianlah orang-orang kafir berbisik di antara mereka. Manusia akan
mati dan ketika mati jasadnya akan rusak dan ketika jasadnya rusak ia
akan menjadi tanah kemudian akan dibawa oleh udara dan tanah itu akan
beterbangan, lalu bagaimana semua ini akan kembali ke asalnya.
“Kemudian apa pengertian adanya hari kiamat? Mengapa orang-orang yang
mati akan bangkit dari kematiannya?” Hud menerima pertanyaan-pertanyaan
ini dengan kesabaran yang mulia. Kemudian ia mulai menerangkan pada
kaumnya keadaan hari kiamat. Ia menjelaskan kepada mereka bahwa
kepercayaan manusia kepada hari akhir adalah satu hal yang penting yang
berhubungan dengan keadilan Allah SWT, sebagaimana ia juga sesuatu yang
penting yang juga berhubungan dengan kehidupan manusia.
Nabi Hud menerangkan kepada mereka
sebagaimana apa yang diterangkan oleh semua nabi berkenaan dengan hari
kiamat. Sesungguhnya hikmah sang Pencipta tidak menjadi sempurna dengan
sekadar memulai penciptaan kemudian berakhirnya kehidupan para makhluk
di muka bumi ini, lalu setelah itu tidak ada hal yang lain. Ini adalah
masa tenggang yang pertama dari ujian. Dan ujian tidak selesai dengan
hanya menyerahkan lembar jawaban. Harus juga disertai dengan koreksi
terhadap lembar jawaban itu, memberi nilai, dan menjelaskan siapa yang
berhasil dan siapa yang gagal.
Manusia selama hidup di dunia tidak
hanya mempunyai satu tindakan; ada yang berbuat kelaliman, ada yang
membunuh, dan ada yang melampaui batas. Seringkali kita melihat
orang-orang lalim pergi dengan bebas tanpa menjalani hukuman. Cukup
banyak orang-orang yang jahat namun mereka mendapatkan fasilitas yang
mewah dan mendapatkan penghormatan serta kekuasaan. Ke mana orang-orang
yang teraniaya akan mengadu dan kepada siapa orang-orang yang menderita
akan mengeluh?
Logika keadilan menuntut adanya hari
kiamat. Sesungguhnya kebaikan tidak selalu menang dalam kehidupan,
bahkan terkadang pasukan kejahatan berhasil membunuh dan memperdaya para
pejuang kebenaran. Lalu, apakah kejahatan ini berlalu begitu saja tanpa
mendapatkan balasan? Sungguh suatu kelaliman besar terhampar seandainya
kita menganggap bahwa hari kiamat tidak pernah terjadi. Allah SWT telah
mengharamkan kelaliman atas diri-Nya sendiri, dan Dia pun
mengharamkannya terjadi di antara hamba-hamba-Nya., maka adanya hari
kiamat, hari perhitungan, hari pembalasan adalah sebagai bukti
kesempurnaan dari keadilan Allah SWT. Sebab hari kiamat adalah hari di
mana semua persoalan akan disingkap kembali di depan sang Pencipta dan
akan di tinjau kembali, dan Allah SWT akan memutuskan hukum-Nya di
dalam-nya. Inilah kepentingan pertama tentang hari kiamat yang
berhubungan langsung dengan keadilan Allah SWT.
Ada kepentingan lain berkenaan dengan
hari kiamat, yang berhubungan dengan perilaku manusia sendiri. Bahwa
keyakinan dengan adanya hari akhir, mempercayai hari kebangkitan,
perhitungan amal, penerimaan pahala dan siksa, dan kemudian masuk surga
atau neraka adalah perkara-perkara yang langsung berkenaan dengan
perilaku manusia, di mana konsentrasi manusia dan had mereka akan
tertuju dengan alam lain setelah alam ini. Oleh karena itu, mereka tidak
akan terbelenggu oleh kenikmatan dunia, kerakusan kepadanya, dan
egoisme untuk menguasinya. Mereka tidak perlu gelisah saat mereka tidak
berhasil melihat balasan usaha mereka dalam umur mereka yang pendek dan
terbatas. Dengan demikian, manusia semakin meninggi dari tanah yang
menjadi asal penciptaannya ke roh yang ditiupkan oleh Tuhannya.
Barangkali persimpangan jalan antara
tunduk terhadap imajinasi dunia, nilai-nilainya, dan
pertimbangan-pertimbangannya dan ketergantungan dengan nilai-nilai Allah
SWT yang tinggi dapat terwujud dengan adanya keimanan terhadap hari
kiamat. Nabi Hud telah membicarakan semua ini dan mereka telah
mendengarkannya namun mereka mendustakannya. Allah SWT menceritakan
sikap kaum itu terhadap hari kiamat:
“Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir
di antara kaumnya dan yang mendustakan pertemuan dengan hari kiamat
(kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan dunia:
‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia, makan dari apa
yang kamu, makan, dan meminum dari apa yang kamu minum. Dan
sesungguhnya jika kamu sekalian menaati manusia yang seperti kamu,
niscaya bila demikian itu, kamu benar-benar menjadi orang-orang yang
merugi. Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu
telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu
sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?, jauh, jauh sekali (dari
kebenaran) apa yang diancamkan kepadamu itu, kehidupan tidak lain
hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan hidup dan
sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi. ” (QS. al-Mu`minun: 33-37)
Demikianlah kaum Nabi Hud mendustakan
nabinya. Mereka berkata kepadanya: “Tidak mungkin, tidak mungkin.”
Mereka keheranan ketika mendengar bahwa Allah SWT akan membangkitkan
orang-orang yang ada dalam kuburan. Mereka bingung ketika dibe-ritahu
bahwa Allah SWT akan mengembalikan penciptaan manusia setelah ia berubah
menjadi tanah, meskipun Dia telah menciptakannya sebelumnya juga dari
tanah. Seharusnya para pendusta hari kebangkitan itu merasa bahwa
mengembalikan penciptaan manusia dari tanah dan tulang lebih mudah dari
penciptaannya pertama kali. Bukankah Allah SWT telah menciptakan semua
makhluk, maka kesulitan apa yang ditemui-Nya dalam mengembalikannya.
Kesulitan itu disesuaikan dengan tolok ukur manusia yang tersembunyi
dalam ciptaan., maka tolok ukur manusia tersebut tidak dapat diterapkan
kepada Allah SWT. Karena Dia tidak mengenal kesulitan atau kemudahan.
Ketika Dia ingin membuat sesuatu, maka Dia hanya sekadar mengeluarkan
perintah:
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah.”Lalu jadilah ia.” (QS. al-Baqarah: 117)
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah.”Lalu jadilah ia.” (QS. al-Baqarah: 117)
Kita juga memperhatikan firman-Nya:
“Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya.” (QS. al-Mu^minun: 33)
“Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya.” (QS. al-Mu^minun: 33)
Al-Mala’ ialah para pembesar
(ar-Ruasa’). Mereka dinamakan al-Mala’ karena mereka suka berbicara dan
mereka mempunyai kepentingan dalam kesinambungan situasi yang tidak
sehat. Kita akan menyaksikan mereka dalam setiap kisah para nabi. Kita
akan melihat para pembesar kaum, orang-orang kaya di antara mereka, dan
orang-orang elit di antara mereka yang menentang para nabi. Allah SWT
menggambarkan mereka dalam firman-Nya:
“Dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan dunia. ” (QS. al-Mukminun: 33)
“Dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan dunia. ” (QS. al-Mukminun: 33)
Karena pengaruh kekayaan dan kemewahan
hidup, lahirlah keinginan untuk meneruskan kepentingan-kepentingan
khusus, dan dari pengaruh kekayaan dan kekuasaan, muncullah sikap
sombong. Para pembesar itu menoleh kepada kaumnya sambil bertanya-tanya:
“Tidakkah nabi ini manusia biasa seperti kita, ia memakan dari apa yang
kita, makan, dan meminum dari apa yang kita minum? Bahkan barangkali
karena kemiskinannya, ia sedikit, makan dari apa yang kita, makan dan ia
minum, menggunakan gelas-gelas yang kotor sementara kita minum dari
gelas-gelas yang terbuat dari emas dan perak., maka bagaimana ia mengaku
berada dalam kebenaran dan kita dalam kebatilan? Ini adalah manusia
biasa, maka bagaimana kita menaati manusia biasa seperti kita? Kemudian,
mengapa Allah SWT memilih manusia di antara kita untuk mendapatkan
wahyu-Nya?”
Para pembesar kaum Nabi Hud berkata:
“Bukankah hal yang aneh ketika Allah SWT memilih manusia biasa di antara
kita untuk menerima wahyu dari-Nya?” Nabi Hud balik bertanya: “Apa
keanehan dalam hal itu? Sesungguhnya Allah SWT mencintai kalian dan oleh
karenanya Dia mengutus aku kepada kalian untuk mengingatkan kalian.
Sesungguhnya perahu Nuh dan kisah Nuh tidak jauh dari ingatan kalian.
Janganlah kalian melupakan apa yang telah terjadi. Orang-orang yang
menentang Allah SWT telah dihancurkan dan begitu juga orang-orang yang
akan mengingkari-Nya pun akan dihancurkan, sekuat apa pun mereka.” Para
pembesar kaum berkata: “Siapakah yang dapat menghancurkan kami wahai
Hud?” Nabi Hud menjawab: “Allah SWT.”
Orang-orang kafir dari kaum Nabi Hud
berkata: “Tuhan-tuhan kami akan menyelamatkan kami.” Nabi Hud
memberitahu mereka, bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah ini dengan
maksud untuk mendekatkan mereka kepada Allah SWT pada hakikatnya justru
menjauhkan mereka dari-Nya. Ia menjelaskan kepada mereka bahwa hanya
Allah SWT yang dapat menyelamatkan manusia, sedangkan kekuatan lain di
bumi tidak dapat mendatangkan mudarat dan manfaat.
Pertarungan antara Nabi Hud dan kaumnya
semakin seru. Dan setiap kali pertarungan berlanjut dan hari berlalu,
kaum Nabi Hud meningkatkan kesombongan, pembangkangan, dan pendustaan
kepada nabi mereka. Mereka mulai menuduh Nabi Hud sebagai seorang idiot
dan gila. Pada suatu hari mereka berkata kepadanya: “Sekarang kami
memahami rahasia kegilaanmu. Sesungguhnya engkau menghina tuhan kami dan
tuhan kami telah marah kepadamu, dan karena kemarahannya engkau menjadi
gila.” Allah SWT menceritakan apa yang mereka katakan dalam firman-Nya:
“Kaum ‘Ad berkata: ‘Hai Hud, kamu tidak
mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali
tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan
kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan
melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila
atas dirimu. ” (QS. Hud: 53-54)
Sampai pada batas inilah penyimpangan
itu telah terjadi pada diri mereka, sampai pada batas bahwa mereka
menganggap, bahwa Nabi Hud telah mengigau karena salah satu tuhan mereka
telah murka kepadanya sehingga ia terkena sesuatu penyakit gila. Nabi
Hud tidak membiarkan anggapan mereka bahwa ia gila dan mengigau, naniun
ia tidak bersikap emosi tetapi ia menunjukkan sikap tegas ketika mereka
mengatakan: “Dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan
sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak
akan mempercayai kamu. “
Setelah tantangan ini tiada lain bagi
Nabi Hud kecuali memberikan tantangan yang sama. Nabi Hud hanya pasrah
kepada Allah SWT. Nabi Hud hanya memberikan peringatan dan ancaman
terhadap orang-orang yang mendustakan dakwahnya. Nabi Hud berkata:
“Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai
saksiku dan saksikanlah olehmu bahwa Sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya. Sebab itu, jalankanlah tipu
dayamu semuanya terhadapku dan janganlah karnu memberi tangguh
kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.
Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang
ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus. Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa
(amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak
dapat membuat mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku
adalah Maha Pemelihara segala sesuatu. ” (QS. Hud: 54-57)
Manusia akan merasa keheranan terhadap
perlawanan kepada kebenaran ini. Seorang lelaki menghadapi kaum yang
kasar dan keras kepala serta bodoh. Mereka menganggap bahwa
berhala-berhala dari batu dapat memberikan gangguan. Manusia sendiri
rnampu menentang para tiran dan melumpuhkan keyakinan mereka, serta
berlepas diri dari mereka dan dari tuhan mereka. Bahkan ia siap
menentang mereka dan menghadapi segala bentuk, makar mereka. Ia pun siap
berperang dengan mereka dan bertawakal kepada Allah SWT. Allah-lah yang
Maha Kuat dan Maha Benar. Dia-lah yang menguasai setiap makhluk di muka
bumi, baik berupa binatang, manusia, maupun makhluk lain. Tidak ada
sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah SWT.
Dengan keimanan kepada Allah SWT dan
dengan kepercayaan pada janji-Nya serta merasa tenang dengan
pertolongan-Nya, Nabi Hud menyeru orang-orang kaflr dari kaumnya. Nabi
Hud melakukan yang demikian itu meskipun ia sendirian dan merasakan
kelemahan karena ia mendapatkan keamanan yang hakiki dari Allah SWT.
Dalam pembicaraannya, Nabi Hud menjelaskan kepada kaumnya bahwa ia
melaksanakan amanat dan menyampaikan agama. Jika mereka mengingkari
dakwahnya, niscaya Allah SWT akan mengganti mereka dengan kaum selain
mereka. Yang demikian ini berarti bahwa mereka sedang menunggu azab.
Demikianlah Nabi Hud menjelaskan kepada mereka, bahwa ia berlepas diri
dari mereka dan dari tuhan mereka. la bertawakal kepada Allah SWT yang
menciptakannya.
Ia mengetahui bahwa siksa akan turun di
antara para pengikutnya yang menentang. Beginilah hukum kehidupan di
mana Allah SWT menyiksa orang-orang kafir meskipun mereka sangat kuat
atau sangat kaya. Nabi Hud dan kaumnya menunggu janji Allah SWT.
Kemudian terjadilah masa kering di muka bumi di mana langit tidak lagi
menurunkan hujan. Matahari menyengat sangat kuat hingga laksana
percikan-percikan api yang menimpa kepala manusia.
Kaum Nabi Hud segera menuju kepadanya
dan bertanya: “Mengapa terjadi kekeringan ini wahai Hud?” Nabi Hud
berkata: “Sesungguhnya Allah SWT murka kepada kalian. Jika kalian
beriman, maka Allah SWT akan rela terhadap kalian dan menurunkan hujan
serta menambah kekuatan kalian.” Namun kaum Nabi Hud justru mengejeknya
dan malah semakin menentangnya., maka masa kekeringan semakin meningkat
dan menguningkan pohon-pohon yang hijau dan matilah tanaman-tanaman.
Lalu datanglah suatu hari di mana
terdapat awan besar yang menyelimuti langit. Kaum Nabi Hud begitu
gembira dan mereka keluar dari rumah mereka sambil berkata: “Hari ini
kita akan dituruni hujan.” Tiba-tiba udara berubah yang tadinya sangat
kering dan panas kini menjadi sangat dingin. Angin mulai bertiup dengan
kencang. Semua benda menjadi bergoyang. Angin terus-menerus bertiup
malam demi malam, dan hari demi hari. Setiap saat rasa dingin bertambah.
Kaum Nabi Hud mulai berlari. Mereka
segera menuju ke tenda dan bersembunyi di dalamnya. Angin semakin
bertiup dengan kencang dan menghancurkan tenda. Angin menghancurkan
pakaian dan menghancurkan kulit. Setiap kali angin bertiup, ia
menghancurkan dan membunuh apa saja yang di depannya. Angin bertiup
selama tujuh malam dan delapan hari dengan mengancam kehidupan dunia.
Kemudian angin berhenti dengan izin Tuhannya.
Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.’ (Bukan)! Bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya.” (QS. al-Ahqaf: 24-25) “Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus;, maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). ” (QS. al-Haqqah: 7)
“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.’ (Bukan)! Bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya.” (QS. al-Ahqaf: 24-25) “Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus;, maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). ” (QS. al-Haqqah: 7)
Tiada yang tersisa dari kaum Nabi Hud
kecuali pohon-pohon kurma yang lapuk. Nabi Hud dan orang-orang yang
beriman kepadanya selamat sedangkan orang-orang yang menentangnya
binasa.