Nabi Ayub as menggambarkan sosok manusia
yang paling sabar, bahkan bisa dikatakan bahwa beliau berada di puncak
kesabaran. Sering orang menisbatkan kesabaran kepada Nabi Ayub.
Misalnya, dikatakan: seperti sabarnya Nabi Ayub. Jadi, Nabi Ayub menjadi
simbol kesabaran dan cermin kesabaran atau teladan kesabaran pada
setiap bahasa, pada setiap agama, dan pada setiap budaya. Allah SWT
telah memujinya dalam kitab-Nya yang berbunyi:
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub)
seorang yang sabar. Dialah sebaih-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat
(kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44)
Yang dimaksud al-Aubah ialah kembali
kepada Allah SWT. Nabi Ayub adalah seseorang yang selalu kembali kepada
Allah SWT dengan zikir, syukur, dan sabar. Kesabarannya menyebabkan
beliau memperoleh keselamatan dan rahasia pujian Allah SWT padanya.
Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan
bentuk dari penyakitnya, dan banyak cerita-cerita dongeng yang
mengemukakan tentang penyakitnya. Dikatakan bahwa beliau terkena
penyakit kulit yang dahsyat sehingga manusia-manusia enggan untuk
mendekatinya. Dalam cuplikan kitab Taurat disebutkan berkenaan dengan
Nabi Ayub: “Maka keluarlah setan dari haribaan Tuhan dan kemudian Ayub
terkena suatu luka yang sangat mengerikan dari ujung kakinya sampai
kepalanya.” Tentu kita menolak semua ini sebagai suatu hakikat yang
nyata. Kami pun tidak mentolerir jika itu dianggap sebagai perbuatan
seni semata. Perhatikanlah ungkapan dalam Taurat: “Kemudian setan keluar
dari haribaan Tuhan kita,” sebagai orang-orang Muslim, kita mengetahui
bahwa setan telah keluar dari haribaan Tuhan sejak Allah SWT menciptakan
Adam as. Maka, kapan setan kembali keharibaan Tuhan? Kita berada di
hadapan ungkapan seni, tetapi kita tidak berada di hadapan suatu
hakikat.
Lalu, bagaimana hakikat sakitnya Nabi
Ayub dan bagaimana kisahnya? Yang populer tentang cobaan Nabi Ayub dan
kesabarannya adalah riwayat berikut: para malaikat di bumi berbicara
sesama mereka tentang manusia dan sejauh mana ibadah mereka. Salah
seorang di antara mereka berkata: “Tidak ada di muka bumi ini seorang
yang lebih baik daripada Nabi Ayub. Beliau adalah orang mukmin yang
paling sukses, orang mukmin yang paling agung keimanannya, yang paling
banyak beribadah kepada Allah SWT dan bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya
dan selalu berdakwah di jalan-Nya.” Setan mendengarkan apa yang
dikatakan lalu ia merasa terganggu dengan hal itu. Kemudian ia pergi
menuju ke Nabi Ayub dalam rangka berusaha menggodanya tetapi Nabi Ayub
adalah seorang Nabi di mana hatinya dipenuhi dengan ketulusan dan cinta
kepada Allah SWT sehingga setan tidak mungkin mendapatkan jalan untuk
mengganggunya.
Ketika setan berputus asa dari
mengganggu Nabi Ayub, ia berkata kepada Allah SWT: “Ya Rabbi, hamba-Mu
Ayub sedang menyembah-Mu dan menyucikan-Mu namun, ia menyembah-Mu bukan
karena cinta, tapi ia menyembah-Mu karena kepentingan-kepentingan
tertentu. Ia menyembah-Mu sebagai balasan kepada-Mu karena Engkau telah
memberinya harta dan anak dan Engkau telah memberinya kekayaan dan
kemuliaan. Sebenarnya ia ingin menjaga hartanya, kekayaannya, dan
anak-anaknya. Seakan-akan berbagai nikmat yang Engkau karuniakan padanya
adalah rahasia dalam ibadahnya. Ia takut kalau-kalau apa yang
dimilikinya akan binasa dan hancur. Oleh karena itu, ibadahnya dipenuhi
dengan hasrat dan rasa takut. Jadi, di dalamnya bercampur antara rasa
takut dan tamak, dan bukan ibadah yang murni karena cinta.”
Riwayat tersebut mengatakan bahwa Allah
SWT berkata kepada iblis: “Sesungguhnya Ayub adalah hamba yang mukmin
dan sejati imannya. Ayub menjadi teladan dalam keimanan dan kesabaran.
Aku membolehkanmu untuk mengujinya dalam hartanya. Lakukan apa saja yang
engkau inginkan, kemudian lihatlah hasil dari apa yang engkau lakukan.”
Akhirnya, setan pergi dan mendatangi
tanah Nabi Ayub dan berbagai tanaman dan kenikmatan yang dimilikinya.
Kemudian setan itu menghancurkan semuanya. Keadaan Nabi Ayub pun berubah
dari puncak kekayaan ke puncak kefakiran. Kemudian setan menunggu apa
tindakan Nabi Ayub. Nabi Ayub berkata: “Oh musibah dari Allah SWT. Aku
harus mengembalikan kepada-Nya amanat yang ada di sisi kami di mana Dia
saat ini mengambilnya. Allah SWT telah memberi kami nikmat selama
beberapa masa. Maka segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat yang
diberikannya, dan Dia mengambil dari kami pada hari ini nikmat-nikmat
itu. Bagi-Nya pujian sebagai Pemberi dan Pengambil. Aku dalam keadaan
ridha dengan keputusan Allah SWT. Dia-lah yang mendatangkan manfaat dan
mudharat. Dia-lah yang ridha dan Dialah yang murka. Dia adalah Penguasa.
Dia memberikan kerajaan kepada siapa yang di kehendaki-Nya, dan
mencabut kerajaan dari siapa yang dikehendaki-Nya; Dia memuliakan siapa
yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya.”
Kemudian Nabi Ayub sujud dan Iblis tampak tercengang melihat pemandangan
tersebut.
Lalu setan kembali kepada Allah SWT dan
berkata: “Ya Allah, jika Ayub tidak menerima nikmat kecuali dengan
mengatakan pujian, dan tidak mendapatkan musibah kecuali mendapatkan
kesabaran maka hal itu sebagai bentuk usahanya karena ia mendapatkan
anak. Ia mengharapkan dengan melalui mereka kekayaannya meningkat dan
melalui mereka ia dapat menjalani kehidupan yang lebih mudah.” Riwayat
mengatakan bahwa Allah SWT membolehkan bagi setan untuk berbuat apa saja
kepada anak-anak Ayub. Kemudian setan menggoncangkan rumah yang di situ
anak-anaknya tinggal sehingga mereka semua terbunuh. Dalam keadaan
demikian, Nabi Ayub berdialog kepada Tuhannya dan menyeru: “Allah
memberi dan Allah mengambil. Maka bagi-Nya pujian saat Dia memberi dan
mengambil, saat Dia murka dan ridha, saat Dia mendatangkan manfaat dan
mudharat. Kemudian Ayub pun sujud dan iblis lagi-lagi tampak tercengang
dan merasa malu.”
Iblis kembali menemui Allah SWT dan
mengatakan bahwa Ayub dapat bersabar karena badannya sehat. Seandainya
Engkau memberi kekuasaan kepadaku, ya Rabbi, untuk mengganggu badannya
niscaya dia akan berhenti dari kesabarannya. Riwayat mengatakan bahwa
Allah SWT menginzinkan setan untuk mengganggu tubuh Ayub. Dikatakan
bahwa setan memukul tubuh Nabi Ayub dari kepalanya sampai kakinya
sehingga Nabi Ayub sakit kulit di mana tubuhnya membusuk dan
mengeluarkan nanah, bahkan keluarganya dan sahabat-sahabatnya
meninggalkannya kecuali isterinya. Namun lagi-lagi Nabi Ayub tetap
bersabar dan bersyukur kepada Allah SWT. Beliau memuji-Nya pada
hari-hari kesehatannya dan ia tetap memuji Allah SWT saat mendapatkan
ujian sakit. Dalam dua keadaan itu, Nabi Ayub tetap bersabar dan
bersyukur kepada Allah SWT.
Melihat pemandangan itu, amarah setan
semakin meningkat namun ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Di sini setan mengumpulkan para penasihatnya dari pakar-pakar dan ia
menceritakan tentang kisah Ayub dan meminta mereka mengeluarkan
pendapat—setelah ia menyampaikan rasa putus asanya saat menggodanya atau
mencoba menghilangkan sifat sabarnya dan syukurnya.
Salah seorang setan berkata: “Sungguh
engkau telah mengeluarkan Adam bapak manusia dari surga, lalu darimana
engkau mendatanginya? Oh, yang engkau maksud adalah Hawa?” Terbukalah di
hadapan Iblis suatu ide yang baru. Lalu ia pergi ke istri Ayub dan
memenuhi hatinya dengan rasa putus asa sehingga ia pergi ke Ayub dan
berkata padanya: “Sampai kapan Allah SWT menyiksamu? Di mana harta,
keluarga, teman dan kaum kerabat? Di mana masa jayamu dan kemuliaanmu
dahulu?”
Mendengar perkataan isterinya itu, Nabi
Ayub menjawab: “Sungguh engkau telah dikuasai oleh setan. Mengapa engkau
menangisi kemuliaan yang telah berlalu dan anak yang telah mati?”
Perempuan itu berkata: “Mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah agar
Dia menghilangkan cobaan darimu dan menyembuhkanmu serta menghilangkan
kesedihannmu?” Nabi Ayub berkata: “Berapa lama kita merasakan
kebahagiaan?” Istrinya menjawab: “Delapan tahun.” Ayub berkata: “Berapa
lama kita mendapat penderitaan?” Istrinya menjawab: “Tujuh tahun.” Ayub
berkata: “Aku malu jika aku meminta agar Allah SWT melepaskan
penderitaanku ketika aku melihat masa kebahagiaanku. Sungguh imanmu
tampak melemah dan keputusan Allah SWT membuat hatimu menjadi sempit.
Seandainya aku sembuh dan kembali kepada kekuatanku, niscaya aku akan
memukulmu dengan seratus kali pukulan dari tongkat. Sejak hari ini, aku
tidak memakan dari makananmu dan dari minumanmu atau memerintahkanmu
untuk melakukan suatu urusan. Maka pergilah kau dariku.”
Akhirnya, isteri Nabi Ayub pergi
sehingga Nabi Ayub tinggal sendirian dalam keadaan sabar menanggung
penderitaanya. Penderitaan yang seandainya ditimpakan kepada gunung
niscaya gunung tidak akan mampu menahannya. Kemudian Nabi Ayub berdoa
kepada Allah SWT dalam keadaan penuh kasih sayang dan meminta belas
kasih kepada-Nya. Beliau berdoa agar Allah SWT menyembuhkannya. Dan
akhirnya, doanya dikabulkan oleh Allah SWT. Demikianlah riwayat yang
populer berkenaan dengan penderitaan Nabi Ayub dan kesabarannya.
Menurut hemat kami riwayat ini palsu
karena ia sesuai dengan teks Taurat yang menjelaskan sakitnya Nabi Ayub.
Begitu juga kami tidak menerima jika dikatakan bahwa penyakitnya sangat
buruk sekali yang menyebabkan masyarakat lari darinya sebagaimana
dikatakan oleh dongeng-dongeng kuno. Bagi kami, riwayat semacam itu
bertentangan dengan kedudukan kenabian. Yang perlu kita perhatikan dan
perlu kita pastikan adalah apa-apa yang telah disampaikan oleh Al-Qur’an
berkenaan dengan cerita Nabi Ayub. Al-Qur’an adalah kitab satu-satunya
yang pasti benar yang tiada kebatilan di depan dan di belakangnya.
Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: (‘Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.’ Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyahit yang ada padanya dan Kami kembalihan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. al-Anbiya’: 83-84)
“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: (‘Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.’ Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyahit yang ada padanya dan Kami kembalihan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. al-Anbiya’: 83-84)
Kita telah memahami bahwa Nabi Ayub
adalah hamba yang saleh dari hamba-hamba Allah SWT. Allah SWT
menginginkan untuk mengujinya dalam hartanya, keluarganya, dan badannya.
Hartanya hilang sehingga ia menjadi orang fakir setelah sebelumnya ia
termasuk orang yang paling kaya. Kemudian ia ditinggalkan oleh istrinya
dan keluarganya sehingga ia merasakan arti kesunyian dan kesendirian
lalu ia ditimpa penyakit dalam tubuhnya dan ia merasa menderita
karenanya, tetapi beliau tetap sabar menghadapi semua itu dan tetap
bersyukur kepada Allah SWT.
Sakit yang dideritanya cukup lama
sehingga beliau menghabiskan waktu-waktu dan hari-harinya dalam keadaan
sendirian bersama penyakitnya, rasa sedihnya, dan kesendiriannya.
Demikianlah Nabi Ayub merasakan segi tiga penderitaan. Segi tiga
penderitaan dalam hidupnya, yaitu sakit, kesedihan, dan kesendirian. Di
saat beliau mendapat cobaan seperti itu, pada suatu hari datang pada
beliau salah satu pemikiran setan. Pikiran itu berputar-putar di relung
hatinya; pikiran itu mengatakan padanya, wahai Ayub penyakit ini dan
penderitaan yang engkau rasakan oleh karena godaaan dariku. Seandainya
engkau berhenti sabar dalam satu hari saja niscaya penyakitmu akan
hilang darimu. Kemudian manusia-manusia berbisik-bisik dan berkata:
Seandainya Allah SWT mencintainya niscaya ia tidak akan merasakan
penderitaan yang begitu hebat. Demikianlah pemikiran yang jahat itu.
Setan tidak mampu untuk mengganggu seseorang kecuali dengan izin Allah
SWT sebagaimana Allah SWT tidak menjadikan cinta-Nya kepada manusia
identik dengan kesehatan mereka. Sesungguhnya Allah SWT menguji mereka
sebagaimana yang dikehendaki-Nya.
Pikiran setan itu berputar di sekitar
hati Nabi Ayub seperti berputarnya lalat di musim panas di sekitar
kepala manusia, namun beliau mampu menghilangkan pikiran ini dan sambil
tersenyum kepada dirinya beliau berkata: “Keluarlah hai setan! Sungguh
aku tidak akan berhenti bersabar, bersyukur, dan beribadah.” Akhirnya,
pikiran jahat itu dengan rasa putus asa keluar dari akal Nabi Ayub. Nabi
Ayub duduk dalam keadaaan marah karena setan berani untuk
mengganggunya. Beliau membayangkan bahwa boleh jadi setan berani
menggodanya dengan memanfaatkan kesendiriannya, penderitaannya, dan
penyakitnya.
Istri Nabi Ayub datang dalam keadaan
terlambat dan mendapati Nabi Ayub dalam keadaan marah. Istrinya itu
menutupi kepalanya dengan suatu kain tertutup. Istri Nabi Ayub
menghadirkan atau menghidangkan makanan yang baik untuknya. Nabi Ayub
bertanya padanya: “Dari mana engkau mendapati uang?” Nabi Ayub telah
bersumpah akan memukulnya seratus kali pukulan dengan tongkat ketika
beliau sembuh, tetapi kesabarannya sungguh sangat luas seperti sungai
yang besar. Dan di waktu sore, setelah mengetahui kehalalan makanan yang
dihidangkan, beliau pun memakannya. Kemudian Nabi Ayub keluar menuju ke
gunung dan berdoa kepada Tuhannya.
Allah SWT berfirman:
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: ‘Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.’ (Allah berfirman): ‘Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesugguhnya Kami mendapati dia (Ayuh) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia sangat taat (hepada Tuhannya).” (QS. Shad: 41-44)
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: ‘Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.’ (Allah berfirman): ‘Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesugguhnya Kami mendapati dia (Ayuh) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia sangat taat (hepada Tuhannya).” (QS. Shad: 41-44)
Bagaimana kita memahami perkataan Nabi
Ayub, “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.”?
Nabi Ayub ingin mengadukan kepada Tuhannya perihal keberanian setan
padanya di mana setan membayangkan bahwa ia dapat mengganggunya. Nabi
Ayub tidak percaya bahwa sakit yang dideritanya adalah datang karena
pengaruh setan.
Demikianlah pemahaman yang sesuai dengan
kemaksuman para nabi dan kesempumaan mereka. Allah SWT memerintahkan
beliau untuk mandi di salah satu mata air di gunung. Allah SWT
memerintahkannya agar beliau minum dari mata air ini. Kemudian Nabi Ayub
melaksanakan perintah ini dan mandi serta minum. Belum lama beliau
minum pada tegukan yang terakhir sehingga beliau merasakan sehat dan
sembuh total dari penyakitnya. Kemudian suhu panas dalam tubuhnya pun
kembali normal seperti biasanya. Allah SWT memberikan kepada Ayub dan
keluarganya dan orang-orang yang seperti mereka suatu rahmat dari
sisi-Nya sehingga Nabi Ayub tidak kembali sendirian. Allah SWT
memberinya berlipat-lipat kekayaan dan kemuliaan dari sisi-Nya sehingga
Ayub tidak menjadi fakir.
Nabi Ayub kembali mendapatkan
kesehatannya setelah lama merasakan penderitaan dan sakit; Nabi Ayub
bersyukur kepada Allah SWT. Beliau telah bersumpah untuk memukul
istrinya sebanyak seratus pukulan dengan tongkat ketika beliau sembuh.
Sekarang beliau sembuh maka Allah SWT mengetahui bahwa beliau tidak
bermaksud untuk memukul istrinya. Namun agar beliau tidak sampai
melanggar janjinya dan sumpahnya, Allah SWT memerintahkannya agar segera
mengumpulkan seikat ranting dari bunga Raihan yang berjumlah seratus
dan hendaklah beliau memukulkan itu kepada istrinya dengan sekali
pukulan. Dengan demikian, beliau telah memenuhi sumpahnya dan tidak
berbohong. Allah SWT membalas kesabaran Ayub dan memujinya dalam
Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub)
seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat
(kepada Tuhannya).” (QS. Shad: 44)